Tokoh neoliberalisme terkemuka dari Amerika Serikat, Arthur B. Laffer, baru-baru ini menyoroti isu perpajakan di Indonesia. Laffer, yang dikenal sebagai ekonom senior dan mantan penasihat Presiden AS Donald Trump, mengusulkan agar pemerintah Indonesia menerapkan sistem flat tax. Sistem ini berarti tarif pajak yang sama dikenakan kepada semua orang, tanpa memandang tingkat pendapatan mereka.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan saran tersebut. Laffer menyarankan agar Indonesia tidak membeda-bedakan tarif pajak antara si kaya dan si miskin.
Sri Mulyani secara terbuka menyatakan ketidaksetujuannya terhadap gagasan tersebut. Dalam sebuah acara di Jakarta Pusat, ia menantang audiens dengan pertanyaan retoris: "Apakah setuju jika mereka yang sangat kaya membayar pajak dengan tarif yang sama dengan mereka yang hanya berpenghasilan setara upah minimum regional (UMR)?". Ia meyakini mayoritas akan menolak usulan tersebut.
Menkeu menjelaskan bahwa Indonesia saat ini memiliki sistem pajak progresif dengan lima lapisan tarif. Tarif pajak berkisar antara 5% untuk penghasilan Rp0-Rp60 juta, hingga 35% untuk penghasilan di atas Rp5 miliar.
Sri Mulyani menekankan pentingnya keadilan dan distribusi dalam kebijakan perpajakan. Menurutnya, perbedaan tarif pajak antara kelompok berpenghasilan tinggi dan rendah adalah hal yang wajar dan mencerminkan prinsip keadilan.
Ia juga menjelaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki tiga fungsi utama: stabilisasi, distribusi, dan alokasi. Dalam situasi ekonomi yang melemah, pemerintah mempertahankan belanja negara untuk bantuan sosial dan perbaikan infrastruktur, meskipun penerimaan pajak menurun. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menjaga kesejahteraan masyarakat dan mendorong pemulihan ekonomi.