JAKARTA (19/6/2025) – Meningkatnya penetrasi internet di kalangan anak-anak Indonesia, ironisnya, berbanding lurus dengan paparan mereka terhadap konten eksploitatif seksual di dunia maya. Kondisi ini menuntut respons cepat dan terukur melalui penguatan pengawasan serta penataan sistem elektronik (PSE).
Anggota Komisi I DPR RI, Andina Thresia Narang, menyoroti data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJI) 2024 yang menunjukkan 75% anak usia 5-17 tahun telah terhubung ke internet. Lebih mengkhawatirkan, pada 2023 tercatat 11 ribu konten digital mengandung eksploitasi seksual. Menurutnya, hal ini menjadi alarm bagi seluruh pihak terkait untuk memperketat pengawasan dan tata kelola PSE.
Berbagai tantangan menghalangi upaya perlindungan anak di dunia digital, termasuk lemahnya sistem verifikasi usia, mudahnya akses terhadap konten tidak senonoh, sulitnya mengawasi PSE asing, dan minimnya literasi digital di masyarakat. Sebagai wakil rakyat, Andina mendukung regulasi yang melindungi anak di dunia maya, serta alokasi anggaran yang memadai untuk meningkatkan literasi digital.
Andina menekankan pentingnya kebijakan perlindungan anak di ruang digital dalam bentuk undang-undang. Namun, sembari menunggu realisasinya, sosialisasi dan implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17/2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik Dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) harus dilakukan secara serius dan komprehensif oleh semua pihak.
Hal ini diungkapkannya dalam diskusi daring bertema "Tata Kelola Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk Melindungi Anak di Ranah Digital" yang diselenggarakan Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (18/6/2025).
Sekretaris Ditjen Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Digital RI, Mediodecci Lustarini, memaparkan bahwa peningkatan akses internet dan telepon seluler di kalangan anak-anak Indonesia pada periode 2020-2023 sangat signifikan, mencapai sekitar 25%. Sayangnya, peningkatan ini tidak diimbangi dengan peningkatan literasi digital yang memadai, sehingga pemanfaatan internet yang aman masih menjadi tantangan.
PP Tunas, yang lahir pada Maret 2025, hadir sebagai langkah pengamanan untuk memastikan perlindungan di ruang digital. Salah satu prinsip utama PP Tunas adalah menugaskan PSE untuk memastikan standar keamanan, termasuk persetujuan orang tua saat anak mengaktifkan akun dan pengaturan konten sesuai usia.
Komisioner KPAI, Kawiyan, mengungkapkan bahwa anak-anak Indonesia saat ini menghadapi ancaman kekerasan di ranah digital, seperti maraknya judi online, perundungan (bullying), hingga pembunuhan yang dipicu konten digital. Kerentanan ini diperparah oleh rendahnya literasi digital anak dan orang tua. Kawiyan menekankan perlunya regulasi terkait PSE, serta dukungan masyarakat dan pemerintah dalam pengawasan dan pemahaman kebijakan.
Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, dalam pembukaan diskusi, menyampaikan bahwa penataan ruang digital harus melindungi setiap warga negara dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Interaksi anak-anak di dunia maya harus ditata agar tidak membahayakan.
Lestari menyoroti laporan We Are Social pada Digital 2025 Global Overview Report yang menunjukkan bahwa per April 2025, dari 223 juta pengguna internet di Indonesia, sekitar 98,7% mengaksesnya melalui ponsel. Peningkatan jumlah pengguna dan kebiasaan mengakses internet ini harus diantisipasi untuk mengurangi kecanduan dan melindungi anak-anak dari informasi yang tidak terkontrol.
Ancaman nyata yang dihadapi adalah kecanduan internet yang mempengaruhi emosi anak. Lestari berharap para pemangku kepentingan di pusat dan daerah dapat membangun komitmen kuat untuk menjalankan kebijakan yang melindungi dan mencerdaskan anak bangsa di ruang digital.