Kasus demam berdarah (DBD) di Indonesia masih menjadi momok yang sulit diatasi. Setidaknya, ada lima faktor utama yang menjadi penyebabnya.
Pertama, iklim tropis yang berlangsung sepanjang tahun menciptakan lingkungan yang sangat mendukung perkembangbiakan nyamuk Aedes, sang pembawa virus dengue. Selain itu, laju urbanisasi yang pesat tanpa diimbangi sanitasi yang memadai, menyediakan banyak tempat ideal bagi nyamuk untuk berkembang biak.
Mobilitas penduduk yang tinggi antar kota dan pulau juga mempercepat penyebaran virus dengue ke berbagai wilayah. Ditambah lagi, sistem deteksi dini yang belum optimal dan penanganan yang seringkali terlambat menjadi masalah serius.
Faktor terakhir, adalah keberadaan empat serotipe virus dengue yang berbeda yang terus bersirkulasi di Indonesia. Hal ini meningkatkan risiko infeksi sekunder, yang berpotensi menjadi demam berdarah yang lebih parah.
Ironisnya, masyarakat cenderung menganggap remeh penyakit ini. Persepsi keliru bahwa DBD bisa disembuhkan dengan mudah menyebabkan banyak orang tidak waspada. Bahkan, perhatian terhadap DBD cenderung meningkat saat wabah terjadi, namun kembali mereda setelah wabah mereda.
Padahal, berbagai upaya penanggulangan DBD telah dilakukan secara luas. Pengetahuan tentang penyakit ini sudah cukup baik di berbagai lapisan masyarakat. Media massa pun berperan aktif dalam memberikan informasi tentang pencegahan, antisipasi, pengobatan, dan aspek lainnya terkait DBD. Pemerintah pusat dan daerah juga terus berupaya menekan angka kasus DBD.
Namun, di lapangan, terjadi paradoks. DBD dianggap sebagai penyakit biasa, sehingga penanganan seringkali terlambat. Akibatnya, Indonesia menjadi salah satu negara dengan beban DBD tertinggi di dunia. Sekitar 70% kasus DBD global berada di Asia Tenggara, dan angka kematian akibat DBD di Indonesia hampir selalu yang tertinggi di kawasan ini. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kematian DBD tertinggi secara global.