Luka Mei 1998: Penyangkalan Negara dan Upaya Pelurusan Sejarah

Tragedi Mei 1998, sebuah babak kelam dalam sejarah Indonesia, kembali menghantui ingatan bangsa. Dua puluh tujuh tahun berlalu, luka yang belum sepenuhnya sembuh kini diperparah oleh upaya penyangkalan, bahkan penghapusan memori kolektif terkait peristiwa tersebut.

Penyangkalan paling menyakitkan adalah pernyataan pejabat negara setingkat menteri yang meragukan, bahkan menampik terjadinya pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan tersebut. Pernyataan ini bukan hanya melukai para korban yang selamat, tetapi juga merobek kejujuran sejarah yang telah dijaga oleh para relawan, akademisi, dan aktivis kemanusiaan.

Sikap ini berbahaya karena merupakan bagian dari proyek besar pemerintah, yaitu penulisan ulang sejarah nasional. Tanpa pengawasan ketat, proyek ini berpotensi menjadi upaya sistematis untuk mengaburkan kebenaran, melemahkan demokrasi, dan memutihkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang telah terjadi.

Fakta Kekerasan Seksual Mei 1998 Tak Terbantahkan

Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tahun 1998 mencatat sedikitnya 52 kasus pemerkosaan, 14 pemerkosaan disertai penganiayaan, 10 penganiayaan seksual, dan 9 pelecehan seksual. Mayoritas korban adalah perempuan keturunan Tionghoa.

Komnas HAM menegaskan bahwa kekerasan seksual dalam peristiwa tersebut adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Bahkan, Presiden BJ Habibie mengakui terjadinya kekerasan seksual dan membentuk Komnas Perempuan melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998.

Penyangkalan fakta ini sama dengan menyangkal keberadaan lembaga resmi negara yang dibentuk untuk menangani isu tersebut.

Penyangkalan adalah Luka Kedua

Para korban kekerasan seksual Mei 1998 kini mengalami luka kedua, yaitu penyangkalan oleh negara. Mereka yang selama ini diam karena trauma dan ancaman, kini dipaksa menanggung beban tambahan.

Setiap upaya penyangkalan sepihak oleh pejabat negara harus ditolak. Pernyataan semacam ini adalah pembelokan sejarah, tindakan tidak berempati, dan pelecehan terhadap martabat korban. Sejarah tidak boleh ditulis ulang demi membela nama baik elite tertentu, apalagi jika mengorbankan nasib dan penghormatan terhadap korban pelanggaran HAM berat.

DPR Akan Bertindak

Komisi X DPR RI akan memanggil Menteri Kebudayaan untuk meminta klarifikasi. Pernyataan pejabat negara tidak bisa dianggap sebagai pendapat pribadi. Kementerian Kebudayaan adalah penjaga warisan sejarah, sehingga narasi penyangkalan adalah kegagalan mendasar dalam menjalankan mandat kebudayaan bangsa.

Proses penulisan ulang sejarah nasional harus dilakukan secara ilmiah, terbuka, dan partisipatif. Tidak boleh ada intervensi politik yang mengarah pada penyederhanaan narasi atau peniadaan fakta penting. Sejarah Indonesia tidak bisa disajikan dalam narasi tunggal yang steril dari kritik. Bangsa yang dewasa berani melihat masa lalunya dengan jujur dan bertanggung jawab.

Melindungi Ingatan, Merawat Keadilan

Sejarah adalah milik rakyat, bukan milik penguasa. Sejarah adalah kesaksian kolektif bangsa yang dibangun dari penderitaan, perjuangan, dan pengorbanan. Kita tidak boleh membiarkan tragedi seperti pemerkosaan massal 1998 dipelintir menjadi "isu yang belum terbukti."

Kebenaran terlambat diakui bukan karena kurangnya bukti, tetapi karena kurangnya keberanian untuk bertanggung jawab. Mari kita lawan lupa sebagai tanggung jawab moral generasi hari ini terhadap generasi mendatang. Bangsa yang besar mampu berdamai dengan masa lalunya, termasuk saat itu begitu kelam.

Scroll to Top