Ratusan sopir truk menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran di depan Kantor Gubernur Jawa Timur, Surabaya, memprotes keras implementasi kebijakan Zero Over Dimension Over Load (ODOL). Akibatnya, Jalan Pahlawan lumpuh total karena dipenuhi truk-truk yang diparkir untuk memblokade jalan.
Aksi demonstrasi ini semakin meriah dengan kehadiran sound system berukuran besar yang memutar musik dengan volume tinggi, ditujukan agar aspirasi para sopir didengar oleh para pejabat di dalam kantor gubernur.
"Kami membawa sound horeg agar didengar mereka yang di dalam," ujar Angga Firdiansyah, Ketua Gerakan Sopir Jawa Timur (GSJT).
Tak hanya itu, massa aksi juga membawa dua keranda mayat dan bendera merah putih sepanjang 1.200 meter sebagai simbol matinya keadilan dan belum tercapainya kemerdekaan bagi para sopir.
Para sopir menuntut agar perwakilan dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur menemui mereka dan memenuhi tuntutan yang diajukan. Mereka mengancam akan bermalam di depan Kantor Gubernur jika tuntutan mereka tidak diindahkan.
"Kalau tidak ada kesepakatan, kami akan menginap di sini. Sampai ada yang menemui dan istilahnya harus ada kesepakatan untuk menghentikan operasi ODOL tersebut. Karena kawan-kawan ketakutan karena diancam dengan pidana," tegas Angga.
Alasan penolakan terhadap kebijakan zero ODOL adalah karena dianggap belum layak diberlakukan tanpa adanya regulasi pendukung yang jelas, terutama terkait tarif angkutan logistik dan perlindungan bagi sopir.
Para sopir mengaku mendukung keselamatan berkendara, namun penerapan zero ODOL saat ini dianggap tidak realistis dan justru merugikan mereka.
"Untuk saat ini Indonesia sepertinya belum siap. Kalau ada ODOL itu diterapkan, kami sepakat dengan pertimbangan untuk keselamatan. Tapi saat ini pemerintah belum mengeluarkan regulasi yang jelas, salah satunya perihal tarif angkutan logistik, kerancuannya di situ," jelas Angga.
Selain itu, para sopir juga merasa terintimidasi saat membawa muatan yang dianggap melanggar aturan ODOL, padahal hal tersebut dipicu oleh permintaan industri dan pasar.
"Untuk penindakan di lapangan pun teman-teman merasa diintimidasi, karena terancam kalau melanggar ODOL tersebut. Padahal kawan-kawan, yang memuat ODOL tersebut, yang panjang, lebar, itu karena kebutuhan industri, kebutuhan pasar saat ini," tambahnya.
Para sopir juga mengkritisi ketidakkonsistenan dalam penerapan aturan dimensi kendaraan, yang membuat mereka sering menjadi korban kriminalisasi.
Dalam aksi tersebut, para sopir menyampaikan enam tuntutan utama:
- Hentikan operasi ODOL
- Regulasi ongkos angkutan logistik
- Revisi UULLAJ No. 22 tahun 2009
- Perlindungan hukum kepada sopir
- Berantas premanisme dan Pungli
- Kesetaraan perlakuan hukum.
Para sopir juga menuntut perlindungan hukum dan jaminan kesejahteraan karena merasa menjadi pihak yang paling dirugikan dalam rantai distribusi logistik nasional. Mereka juga menyoroti maraknya praktik premanisme dan pungli di jalan yang merugikan mereka.
"Premanisme dan pungli itu masih banyak dialami teman-teman di lapangan, entah itu modelnya pengawalan atau apa, itu masih banyak. Kami merasa terzalimi karena masih banyak perusahaan besar yang belum ditindak, tapi kami masyarakat kecil yang ditekan," pungkas Angga.