Krisis Politik Thailand Memanas: Ribuan Massa Tuntut PM Paetongtarn Mundur

Gelombang demonstrasi mengguncang Bangkok, Thailand, dengan ratusan warga turun ke jalan menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra. Aksi massa, didominasi oleh demonstran berbaju kuning yang dikenal sebagai loyalis monarki, memadati area depan Gedung Pemerintah, Kamis lalu.

Kemarahan publik dipicu oleh bocornya rekaman percakapan telepon antara Paetongtarn dan mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen. Dalam rekaman tersebut, Paetongtarn menyebut petinggi militer Thailand di wilayah timur laut sebagai "lawan" dan menyapa Hun Sen dengan sebutan "paman", tindakan yang dianggap merendahkan institusi militer dan berpotensi merusak hubungan diplomatik.

"Saya sangat kecewa mendengar rekaman itu," ungkap Kanya Hanotee, seorang pekerja kuil berusia 68 tahun. "Dia tidak memiliki kemampuan negosiasi. Siapa dia? Negara ini bukan miliknya."

Selain skandal rekaman telepon, mundurnya Partai Bhumjaithai dari koalisi pemerintahan turut memperburuk situasi. Partai mitra utama tersebut menuduh Paetongtarn telah merugikan negara dan menghina kehormatan militer.

Para demonstran mengibarkan bendera Thailand dan membawa spanduk bertuliskan "pengkhianat". Teriakan-teriakan seperti "Keluar!" dan "Pergi ke neraka!" menggema di tengah pengamanan ketat oleh polisi anti huru hara.

"Saya tidak mendukung partai politik manapun. Saya hanya benci Thaksin dan keluarganya. Semua politisi kita korup," ujar Kaewta, seorang ibu rumah tangga berusia 62 tahun yang ikut serta dalam aksi protes tersebut.

Paetongtarn, putri dari Thaksin Shinawatra, dipandang sebagai penerus dinasti politik yang telah memecah belah politik Thailand selama dua dekade terakhir. Gerakan "Kaus Kuning" yang konservatif dan pro-kerajaan kerap berselisih dengan kelompok pendukung Thaksin, yang dikenal sebagai "Kaus Merah".

Mek Sumet, seorang penjual alat listrik berusia 59 tahun yang pernah terlibat dalam pendudukan Bandara Don Mueang pada tahun 2008, menuturkan, "Kekuasaan telah diwariskan dari ayahnya ke bibinya, dan sekarang ke dia. Dia tidak memikirkan negara, hanya dirinya sendiri."

Dengan sejarah panjang kudeta di Thailand, yang terjadi lebih dari selusin kali sejak tahun 1932, keretakan politik saat ini menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya intervensi militer.

Bahkan, beberapa demonstran secara terang-terangan mendukung opsi tersebut. "Saya ingin militer mengambil alih kendali," tegas Kanya. "Kami berpikir untuk jangka panjang. Itu akan berdampak positif bagi negara."

Scroll to Top