Sebuah "Kesepakatan Bersama" antara Gubernur Aceh dan Sumatera Utara tentang empat pulau kecil di perbatasan, yang ditandatangani di bawah sorotan kamera, ternyata menyimpan banyak pertanyaan. Kesepakatan yang melibatkan Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang ini, alih-alih menyelesaikan masalah, justru menimbulkan tanda tanya besar tentang legalitas dan dampaknya.
Kewenangan yang Dipertanyakan
Dasar hukum kesepakatan ini sangat rapuh. Perubahan batas wilayah administratif negara tidak bisa hanya diputuskan melalui selembar kertas dan tanda tangan kepala daerah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD-NRI) 1945, UU tentang Pemerintahan Daerah, dan UU tentang Pemerintahan Aceh, semuanya mengatur mekanisme yang jelas dan melibatkan DPRD serta peraturan pemerintah. Tindakan gubernur tersebut, yang melampaui kewenangannya (ultra vires), dengan mudah dapat dibatalkan. Pembatalan oleh Presiden Prabowo adalah langkah tepat untuk mengoreksi kesalahan konstitusional.
Cacat Kepastian Hukum
Dokumen tersebut mengklaim "penegasan batas wilayah" berdasarkan data tahun 1992 dan Kepmendagri 111/1992. Namun, kesepakatan tersebut gagal menjelaskan:
- Dasar kewenangan para penandatangan.
- Apakah ini pengalihan wilayah administratif?
- Adakah rekomendasi dari DPRD atau Kemendagri?
- Mengapa Kepmen lama digunakan tanpa dasar hukum terkini?
Melupakan Sejarah Damai Helsinki
Ironisnya, dokumen itu sama sekali tidak menyinggung MoU Helsinki, perjanjian damai bersejarah antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Padahal, UU Pemerintahan Aceh lahir dari perjanjian politik ini, yang menegaskan keistimewaan Aceh, termasuk wilayah dan pulau-pulau. Mengabaikan Helsinki sama dengan membuka kembali luka lama dan mengkhianati janji.
Kedaulatan Rakyat yang Terabaikan
Tidak ada konsultasi publik, sidang paripurna DPRA, atau pendapat rakyat Aceh Singkil. Padahal, UUD menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, bukan hanya di tangan pejabat. Kesepakatan ini cacat secara moral dan konstitusional karena tidak melibatkan rakyat.
Ancaman dan Pelajaran Berharga
Kesepakatan ini bukan hanya tidak bermakna, tetapi juga berbahaya. Ini membuka celah bagi kekuasaan pusat untuk melemahkan status hukum Aceh melalui administrasi. Jika empat pulau bisa dinegosiasikan, siapa yang menjamin bahwa hal serupa tidak akan terjadi pada wilayah lain di masa depan?
Aceh memiliki sejarah panjang tentang janji yang diingkari. Masyarakat memiliki ingatan yang kuat, yang dapat berubah menjadi perlawanan. Kesepakatan ini adalah perjanjian kosong: kosong dasar hukum, partisipasi, dan penghormatan pada sejarah damai. Kekosongan hukum ini, jika tidak dilawan, dapat menjadi kebiasaan yang merusak negara hukum.
Presiden telah membatalkannya. Namun, pelajaran harus dipetik agar hukum tidak diobral dalam rapat terburu-buru, dan agar Aceh tidak diperlakukan sebagai anak tiri di republik ini.