Pandemi COVID-19 mungkin telah mereda, namun bagi sebagian orang, dampaknya masih terasa hingga kini. Kondisi yang dikenal sebagai Long COVID ini menghadirkan tantangan baru yang seringkali terabaikan.
Realita yang Terlupakan
Banyak penyintas COVID-19 yang mengalami gejala berkepanjangan, bahkan setelah dinyatakan sembuh. Kelelahan ekstrem, kabut otak (brain fog), gangguan jantung, depresi, dan masalah pernapasan hanyalah sebagian kecil dari daftar panjang keluhan yang dirasakan. Bahkan anak-anak pun tak luput dari dampak Long COVID, seperti kasus seorang anak yang didiagnosis epilepsi setelah terinfeksi COVID-19.
Ironisnya, perhatian terhadap Long COVID semakin memudar seiring dengan keinginan dunia untuk segera "move on". Kampanye edukasi berhenti, layanan pemulihan khusus tidak tersedia, dan isu ini jarang dibahas oleh pejabat publik. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan bahwa Long COVID dapat menyerang siapa saja, tanpa memandang tingkat keparahan infeksi awal.
Negara Abai, Masyarakat Acuh
Mengapa Long COVID seolah tak dianggap? Mungkin karena kepercayaan publik yang tergerus selama pandemi. Informasi yang terus berubah memicu skeptisisme dan bahkan sinisme. Gejala pasca-COVID seringkali disalahartikan sebagai efek samping vaksin, semakin memojokkan para penyintas.
Jeritan yang Tak Terdengar
Para penyintas Long COVID seringkali merasa terabaikan. Diagnosis psikosomatis atau gangguan lain seringkali menjadi jawaban, tanpa mempertimbangkan kemungkinan Long COVID. Proses mencari pengobatan yang panjang dan mahal seringkali berujung sia-sia. Akhirnya, banyak penyintas memilih diam dan berdamai dengan tubuh yang tak lagi prima.
Dampak yang Lebih Luas
Long COVID bukan hanya masalah individu. Penurunan fungsi kognitif dapat meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas. Lonjakan klaim asuransi untuk masalah jantung, paru-paru, dan gangguan saraf mengindikasikan dampak kesehatan yang lebih luas. Apakah kita cukup serius melihat ini sebagai ancaman bagi keselamatan publik?
Ujian Solidaritas
Long COVID adalah ujian bagi ingatan, empati, dan solidaritas kita. Jika negara dan masyarakat terus mengabaikan, Long COVID akan menjadi luka kolektif yang tak tersembuhkan. Para penyintas Long COVID membutuhkan dukungan, perhatian, dan pengakuan.
Langkah yang Bisa Dilakukan
Untuk menghadapi Long COVID secara serius, beberapa langkah dapat diambil:
- Pemerintah daerah dan pusat perlu menyediakan layanan rehabilitasi Long COVID di rumah sakit rujukan.
- Komunitas penyintas dan LSM dapat memperkuat peran advokasi dan pendampingan.
- Media massa perlu memberikan ruang bagi cerita penyintas.
- Setiap individu dapat berkontribusi dengan tetap menjaga protokol kesehatan dan berbagi informasi yang benar.
Long COVID bukan aib. Ini adalah realitas pascapandemi yang harus kita hadapi bersama, dengan ilmu pengetahuan, empati, dan kebijakan yang tepat.