Ketegangan di Timur Tengah kembali memanas. Serangan rudal menghantam Tel Aviv, Hizbullah menunjukkan kekuatan di selatan Lebanon, dan kehadiran kapal induk Amerika di Mediterania semakin memperkeruh suasana. Situasi ini bukan sekadar eskalasi biasa, melainkan pertanda konflik yang lebih luas, di mana Iran kini berani menunjukkan diri secara langsung.
Konflik Iran dan Israel, yang mencapai puncaknya sejak Juni 2025, bukan hanya sekadar aksi balas dendam. Ini adalah akumulasi dari ketegangan bertahun-tahun, yang sebelumnya tersembunyi di balik serangan bayangan dan sabotase. Serangan terhadap fasilitas nuklir Iran dan pembunuhan komandan elite mereka oleh Israel memaksa Tehran untuk mengubah strategi. Ratusan rudal dan drone diluncurkan langsung ke Israel, menandakan bahwa Iran bukan lagi sekadar "pengganggu" regional, melainkan kekuatan yang patut diperhitungkan.
Tindakan ini tentu mengandung risiko besar. Respons cepat militer Israel, yang dikenal canggih, menghantam depot senjata, markas komando, dan instalasi strategis di Iran. Namun, Iran tetap teguh, membalas serangan, melancarkan propaganda, dan menegaskan bahwa mereka tidak akan mundur, berapa pun konsekuensinya.
Kehadiran peralatan militer dari Amerika Serikat dan Jerman di Israel mengirimkan sinyal jelas: Barat akan mendukung Tel Aviv jika perang meluas. Kapal induk USS Gerald R. Ford bersiaga di Laut Tengah, sementara jet tempur AS ditempatkan di Qatar dan Bahrain. Meskipun intervensi langsung belum terjadi, persiapan telah dilakukan.
Negara-negara lain pun ikut terseret dalam pusaran konflik. Hizbullah di Lebanon dan milisi Syiah di Irak menyatakan kesiapan, sementara Houthi di Yaman mengancam jalur pelayaran Laut Merah. Negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain khawatir akan dampak perang terhadap infrastruktur energi mereka.
Rusia dan China mengamati situasi dengan seksama, siap memanfaatkan disorientasi Barat. Bahkan Turki dan Mesir, yang selama ini menjaga keseimbangan, mulai menyuarakan kekhawatiran mereka.
Strategi Iran tampaknya bukan untuk memenangkan perang secara militer, melainkan untuk menghindari kekalahan politik. Bertahan di tengah badai, tanpa runtuh, sudah cukup untuk mengirimkan pesan. Sebaliknya, Israel menyadari bahwa waktu tidak berpihak pada mereka. Semakin lama perang berlangsung, semakin besar tekanan internasional dan risiko kehilangan kendali.
Amerika Serikat berada dalam posisi sulit. Mereka harus menunjukkan dukungan kepada sekutunya, namun juga menghindari perang regional yang mahal dan merusak legitimasi. Semua pihak menyadari risiko yang ada, namun tidak tahu bagaimana cara menghentikannya.
Jika eskalasi berlanjut, ada tiga skenario yang mungkin terjadi: perang penuh yang melibatkan semua proksi Iran dan intervensi langsung AS; konflik terlokalisasi dengan intensitas tinggi antara Iran dan Israel; atau gencatan senjata rapuh yang dipaksakan melalui tekanan diplomatik.
Apapun skenarionya, kekuatan militer saja tidak cukup untuk memenangkan perang semacam ini. Ini adalah perang ketahanan, legitimasi, dan persepsi. Pihak yang paling keras tidak selalu menang. Yang menang adalah yang mampu bertahan lebih lama, meski terluka, dan tetap berdiri saat yang lain mulai goyah.
Iran mungkin tidak akan menang secara konvensional. Namun, jika mereka tidak tumbang dan lawan mereka mulai kehilangan arah, itu sudah cukup untuk mengklaim kemenangan. Dunia harus segera mencari solusi diplomatik yang nyata, sebelum semakin banyak negara terseret dalam konflik ini, bukan karena keinginan mereka, melainkan karena logika konflik yang tak mengenal batas.