Konflik yang melibatkan langsung Amerika Serikat (AS) dengan menyerang fasilitas nuklir Iran, menjadi lampu merah bagi Indonesia. Eskalasi perang Israel-Iran berpotensi memicu krisis ekonomi global, dan Indonesia tak bisa tinggal diam.
Ekonom mengingatkan, dampak peperangan ini bukan hanya soal Timur Tengah, tetapi juga stabilitas ekonomi negara berkembang, termasuk Indonesia. Pemerintah perlu segera menyusun strategi darurat untuk menghadapi lonjakan harga minyak dunia yang tak terhindarkan.
Ketergantungan Indonesia pada impor energi bisa jadi bom waktu. Jika harga minyak menembus US$ 100 per barel, beban fiskal akan sangat besar. Kenaikan harga minyak mentah Brent sejak awal Juni adalah sinyal yang jelas. Menunda revisi subsidi energi sama saja menambah masalah defisit anggaran.
Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) harus bahu membahu menstabilkan nilai tukar rupiah. Potensi capital outflow akibat gejolak global bisa menekan rupiah dan memicu inflasi. Intervensi moneter perlu dibarengi komunikasi kebijakan yang jitu agar pasar tetap tenang.
Meluasnya konflik di Timur Tengah berpotensi mendorong harga minyak meroket. Lonjakan biaya impor Bahan Bakar Minyak (BBM) akan mengakibatkan inflasi harga yang diatur pemerintah, sementara daya beli masyarakat sedang lesu. Kenaikan harga BBM akan berimbas pada pelaku usaha dan konsumen, memperlambat pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
Jika perang berlangsung lama, target pertumbuhan ekonomi 5% semakin sulit dicapai. Situasi eksternal terlalu berat, ditambah lagi adanya efisiensi anggaran pemerintah. Proyeksi saat ini menunjukkan, jika konflik berlanjut, ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 4,5% secara tahunan. Target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi akan semakin sulit diraih.