Kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan seorang dokter kandungan berinisial MSF di Garut, Jawa Barat, menghebohkan publik. Jumlah korban diduga tidak hanya satu orang. Seorang wanita berinisial AED (24 tahun) telah melaporkan tindakan cabul yang dilakukan MSF kepadanya.
Menurut keterangan polisi, MSF diduga melakukan perbuatan tidak senonoh dengan meraba bagian tubuh tertentu korban, termasuk di dalam pakaian, yang menyebabkan AED melakukan perlawanan. Tindakan ini diduga terjadi di kediaman MSF. AED berani melapor setelah video pemeriksaan MSF di klinik tersebar di media sosial.
MSF kini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Garut. Kasus ini menjadi sorotan karena video yang beredar memperlihatkan perilaku MSF saat memeriksa pasiennya. Dalam video, terlihat MSF menggunakan alat USG di perut pasien, namun tangan kirinya terlihat memegang bagian atas perut dan diduga menyentuh payudara pasien.
Kementerian Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengecam tindakan MSF, menyatakan bahwa perbuatannya mencoreng nilai-nilai profesi kedokteran dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap tenaga medis. Kasus ini memicu pertanyaan tentang etika dan standar operasional dokter dalam pemeriksaan pasien.
Kesaksian Korban: Merasa Aneh dan Risih
Beberapa wanita yang mengaku menjadi korban pelecehan seksual oleh MSF mulai berani berbicara. Meskipun belum melapor ke polisi, beberapa di antaranya telah mengungkapkan pengalaman mereka di media sosial.
Salah seorang korban, AK (28 tahun), menceritakan pengalamannya saat memeriksakan kehamilan di Klinik Karya Harsa pada Juni 2024. Saat itu, ia ditangani oleh MSF. AK bermaksud melakukan USG untuk memeriksa kandungan.
Dalam kondisi hamil, AK mengeluhkan masalah pada payudara kirinya. Ia kemudian diminta berbaring, dan dokter mulai melakukan USG di perut. AK merasa pemeriksaan berlangsung lebih lama dari biasanya. MSF beralasan posisi bayi tengkurap sehingga sulit terlihat di layar USG.
Setelah USG perut selesai, MSF mengatakan, "mana payudaranya saya USG juga". AK merasa aneh dan bertanya maksudnya. MSF menjawab, "Siapa tahu ada benjolan…" AK akhirnya mengikuti permintaan MSF, awalnya karena percaya pada dokter.
MSF lalu menggunakan alat USG untuk memeriksa payudara kirinya dan mengatakan tidak ada benjolan. Namun, AK merasa aneh dan risih karena MSF berulang kali menaruh gel USG di payudaranya. Ia merasa pemeriksaan ini berbeda dengan pemeriksaan payudara yang pernah ia alami sebelumnya. MSF kemudian meminta untuk memeriksa payudara kanannya juga, dan melakukan hal yang sama berulang kali. Proses ini berlangsung sekitar 30-45 menit. Saat pemeriksaan, suami AK berada di dekatnya, namun tidak menaruh curiga. Seorang asisten bidan atau perawat juga berada di ruangan, namun tidak fokus pada pasien karena disuruh membuat catatan kehamilan.
Pelecehan Verbal via WhatsApp
Setelah USG, MSF meminta foto bersama AK dan suaminya, serta meminta nomor WhatsApp untuk mengirim foto dan hasil USG. Melalui WhatsApp inilah, MSF diduga melakukan "pelecehan seksual secara verbal" dengan menghubungi AK beberapa kali dan menawarkan USG gratis. AK menolak untuk kembali diperiksa.
Setelah video tindakan MSF terhadap pasien lain viral, AK memberanikan diri mengungkapkan pengalamannya di media sosial. Ia berharap agar kasus ini diselidiki dan izin praktik MSF dicabut. AK mengaku selalu teringat kejadian itu dan merasa kesal serta sakit hati.
Mengapa Korban Belum Melapor?
Video CCTV dugaan pelecehan seksual oleh MSF di media sosial memicu kemarahan publik. Beberapa pengguna media sosial mengaku pernah menjadi korban tindakan cabul dokter tersebut. Klinik Karsa Harsa, tempat MSF berpraktik, membenarkan bahwa MSF pernah bekerja di sana sejak 2023, namun sudah jarang melayani pasien sejak awal 2025 dan telah mengundurkan diri. Pengelola klinik mengaku menerima keluhan dari pasien terkait perbuatan cabul MSF dan merasa dirugikan atas tindakannya.
Polisi sedang mendalami identitas korban dalam video yang viral. Korban mengaku masih berkonsultasi dengan suami dan keluarga.
Reaksi Kementerian Kesehatan dan IDI
Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa tindakan MSF mencoreng nilai-nilai profesi kedokteran dan merusak kepercayaan masyarakat. IDI juga mengakui bahwa kasus ini sangat mencoreng dunia kedokteran dan melanggar etika kedokteran. Kemenkes telah mengirim surat ke Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) untuk meminta pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) MSF, yang akan menggugurkan Surat Izin Praktik (SIP). KKI akan memberikan sanksi tegas berupa pencabutan sementara STR jika ditemukan pelanggaran etik dan disiplin profesi.
SOP Pemeriksaan USG
IDI menyatakan bahwa ada prosedur operasional standar (SOP) di ruang pemeriksaan pasien, termasuk untuk pemeriksaan USG kehamilan. Pemeriksaan harus dilakukan sesuai dengan bagian tubuh yang diperiksa, dan pasien yang datang sendirian harus ditemani tenaga kesehatan atau keluarga. Dokter harus meminta izin pasien sebelum memeriksa bagian tubuh yang dianggap sakit. Persetujuan lisan cukup untuk USG, namun persetujuan tertulis diperlukan untuk tindakan medis yang besar. Semua tergantung keluhan pasien dan harus ada izin dari pasien. Kehadiran CCTV di ruangan pemeriksaan juga harus mendapatkan izin pasien.
Dokter Berkuasa, Pasien Tidak Berdaya
Ketua umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menganggap kasus ini terjadi karena "asimetri informasi", di mana dokter memiliki kuasa penuh dan pasien merasa tidak berdaya. Masyarakat atau pasien perlu memahami prosedur medis dan hak-hak mereka. Dengan memahami SOP dan etika di ruangan pemeriksaan, pasien dapat melaporkan jika menemukan keanehan. Kementerian Kesehatan harus menyediakan akses informasi bagi masyarakat untuk melaporkan jika dirugikan oleh dunia medis. Laporan tidak boleh hanya berhenti di fasilitas kesehatan, tetapi juga harus sampai ke dinas kesehatan maupun Kementerian Kesehatan.