Nilai tukar rupiah terhadap mata uang Paman Sam kembali menunjukkan tren melemah di penghujung minggu ini. Tekanan ini dipicu oleh kombinasi berbagai faktor global, terutama eskalasi konflik geopolitik di Timur Tengah dan ketidakjelasan arah kebijakan suku bunga bank sentral AS (The Fed).
Data dari Bloomberg menunjukkan pergerakan rupiah spot yang dimulai dari Rp16.265 per dolar AS pada awal pekan (16 Juni), harus rela merosot ke level Rp16.396 per dolar AS pada penutupan perdagangan Jumat (20 Juni). Dalam kurun waktu seminggu, mata uang Garuda ini tercatat mengalami depresiasi sebesar 0,8 persen.
Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) juga menunjukkan pelemahan sebesar 0,65 persen, berada di angka Rp16.399 per dolar AS. Secara harian, rupiah spot mengalami penurunan sebesar 0,24 persen, sementara Jisdor melemah 0,13 persen.
Bank Indonesia mencatat penutupan rupiah di level bid Rp16.390 per dolar AS pada Kamis (19 Juni), dan dibuka pada Jumat (20 Juni) di posisi Rp16.355 per dolar AS. Indeks dolar AS (DXY) terhadap enam mata uang utama terpantau menguat ke level 98,91, menandakan tekanan yang lebih besar bagi mata uang negara-negara berkembang.
Pasar keuangan global tengah bergejolak akibat pernyataan tegas dari Ketua Federal Reserve, Jerome Powell, yang belum memberikan sinyal komitmen untuk menurunkan suku bunga dalam waktu dekat. Bahkan, proyeksi penurunan suku bunga untuk tahun 2026 pun turut direvisi.
Pernyataan Powell tersebut memperkuat ekspektasi bahwa suku bunga tinggi akan bertahan lebih lama. Hal ini memberikan tekanan tambahan pada pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Selain faktor moneter, situasi geopolitik di Timur Tengah turut memperkeruh sentimen pasar. Ketegangan antara Iran dan Israel yang melibatkan campur tangan Amerika Serikat berpotensi meningkat menjadi konflik yang lebih luas.
Indonesia saat ini berada dalam pusaran ketidakpastian global yang kompleks. Pergeseran struktural ekonomi dunia menuntut ketahanan domestik yang kuat, respons kebijakan yang adaptif, serta koordinasi yang solid antara otoritas fiskal, moneter, dan sektor riil.
Lonjakan imbal hasil obligasi pemerintah AS juga mencerminkan kekhawatiran pasar atas kondisi fiskal Amerika Serikat yang semakin rentan terhadap ketidakseimbangan anggaran.
Pergerakan rupiah diperkirakan akan tetap fluktuatif dalam waktu dekat, dengan potensi pelemahan menuju kisaran Rp16.350 hingga Rp16.400 per dolar AS, tergantung pada dinamika eksternal dan respons kebijakan di dalam negeri.
Kondisi ini menekankan perlunya kewaspadaan dari otoritas moneter dan para pelaku pasar, mengingat tekanan global belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda.