Xi Jinping Rangkul ASEAN: Strategi China Menghadapi Perang Dagang AS dan Membangun Kekuatan Ekonomi Baru

Ketika Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump memicu perang dagang dengan menaikkan tarif impor dari China, Presiden Xi Jinping mengambil langkah taktis. Alih-alih berdiam diri, China justru mempererat hubungan ekonomi dan diplomatik dengan negara-negara Asia Tenggara melalui ASEAN. Langkah ini bukan sekadar respons terhadap tekanan ekonomi AS, tetapi juga bagian dari visi jangka panjang China untuk membentuk pusat kekuatan ekonomi dunia yang baru di Asia.

Perang Dagang AS-China: Awal Mula Perubahan

Perang dagang antara AS dan China dimulai pada tahun 2018, ditandai dengan pengenaan tarif tinggi oleh AS terhadap produk impor China. Trump menuduh China melakukan praktik perdagangan yang tidak adil, mencuri kekayaan intelektual, dan memanipulasi mata uang. China membalas dengan mengenakan tarif pada produk AS. Di balik perseteruan ini, terdapat persaingan geopolitik yang lebih dalam: AS berusaha menghambat kebangkitan China sebagai kekuatan ekonomi dan teknologi global, sementara China berupaya memperkuat posisinya sebagai pemimpin global alternatif melalui inisiatif Belt and Road (BRI).

ASEAN: Mitra Strategis di Tengah Krisis

ASEAN, dengan populasi lebih dari 660 juta jiwa dan pertumbuhan ekonomi yang stabil, menjadi mitra dagang yang sangat menarik bagi China. Secara geografis, negara-negara ASEAN berada di jalur perdagangan dunia yang strategis. Xi Jinping menyadari bahwa ASEAN bukan hanya pasar potensial bagi produk dan teknologi China, tetapi juga dapat menjadi benteng pertahanan terhadap isolasi ekonomi akibat tekanan dari AS. Intensitas kunjungan pejabat tinggi China ke negara-negara ASEAN meningkat secara signifikan sejak awal perang dagang, dengan perjanjian dagang dan investasi baru ditandatangani, pinjaman lunak diberikan, dan proyek-proyek infrastruktur besar dimulai di bawah payung BRI.

Investasi dan Infrastruktur: Pilar Utama Strategi Ekonomi

Xi Jinping mempererat hubungan dengan ASEAN melalui investasi langsung dan pembangunan infrastruktur. Indonesia, Malaysia, Laos, Kamboja, dan Myanmar menjadi tujuan utama investasi BRI. Proyek-proyek besar seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung, pelabuhan di Malaysia dan Myanmar, serta jalur logistik di Kamboja menjadi simbol kehadiran ekonomi China di kawasan. Investasi ini tidak hanya sekadar aliran modal, tetapi juga sarana memperluas pengaruh politik dan diplomatik. Negara-negara ASEAN yang menerima investasi besar cenderung memiliki sikap yang lebih lunak terhadap isu-isu sensitif seperti Laut China Selatan.

RCEP: Diplomasi Multilateral dan Perdagangan Bebas

Selain pendekatan bilateral, Xi Jinping juga mendorong diplomasi multilateral di tingkat regional. Penandatanganan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) pada tahun 2020 menjadi terobosan besar. RCEP adalah pakta dagang yang melibatkan 15 negara Asia-Pasifik, termasuk semua anggota ASEAN, China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. RCEP menjadi blok perdagangan terbesar di dunia, menutupi hampir sepertiga ekonomi global, dan menandakan komitmen Asia terhadap perdagangan bebas, berbeda dari pendekatan proteksionisme yang diusung AS.

Dilema ASEAN: Kesempatan atau Ketergantungan?

Tawaran kerja sama dari China menghadirkan dilema bagi negara-negara ASEAN. Di satu sisi, China menawarkan bantuan ekonomi yang nyata untuk mendorong pembangunan nasional. Di sisi lain, ketergantungan terhadap China dapat menimbulkan risiko geopolitik dan ekonomi jangka panjang. Beberapa negara seperti Kamboja dan Laos cenderung lebih dekat ke Beijing, sementara negara seperti Vietnam dan Filipina lebih berhati-hati dan berusaha menjaga keseimbangan dengan mempertahankan hubungan baik dengan AS. Indonesia berada di posisi tengah, menerima investasi China tetapi tetap menjaga kedaulatan dan kebijakan luar negeri yang bebas aktif.

Laut China Selatan: Ujian Utama Hubungan

Isu Laut China Selatan menjadi batu sandungan hubungan China dan ASEAN. Klaim China atas hampir seluruh wilayah tersebut bertabrakan dengan klaim beberapa negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia. Xi Jinping berusaha meredakan kekhawatiran ini dengan mendorong Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan, namun belum ada kesepakatan final. Pendekatan ekonomi China dinilai berhasil "melunakkan" posisi sebagian negara ASEAN, terutama yang lebih tergantung pada investasi Beijing.

Soft Power China: Pengaruh Budaya, Pendidikan, dan Media

China juga memperkuat pengaruhnya di ASEAN melalui pendekatan soft power. Institut Konfusius yang menyebarkan budaya dan bahasa Mandarin dibuka di banyak universitas di Asia Tenggara. Beasiswa pendidikan ke China diperbanyak, memberikan peluang kepada mahasiswa ASEAN untuk belajar di Negeri Panda. Media milik negara seperti CGTN dan Xinhua memperkuat kehadirannya di negara-negara ASEAN dengan konten berbahasa lokal, menyampaikan perspektif China tentang isu-isu global. Semua ini bertujuan membentuk opini publik yang lebih ramah terhadap Beijing dan menyaingi narasi barat.

Menuju Dunia Multi-Polar: China dan ASEAN sebagai Kekuatan Baru

Strategi Xi Jinping dalam mempererat hubungan dengan ASEAN adalah bagian dari visi besar China untuk menciptakan tatanan dunia multipolar. Dalam dunia yang tidak lagi didominasi oleh satu kekuatan tunggal seperti AS, China ingin menjadi salah satu poros utama yang menentukan arah kebijakan global. Dengan menggandeng ASEAN, China memperkuat posisinya sebagai pemimpin kawasan, memperkuat jaring ekonomi regional, dan menantang dominasi AS dalam perdagangan, teknologi, dan pengaruh politik.

Masa Depan Hubungan AS-China-ASEAN

Perang tarif yang dilancarkan Trump hanyalah salah satu babak dalam persaingan panjang antara AS dan China. Respons Xi Jinping melalui pendekatan kerja sama dengan ASEAN menunjukkan bahwa China tidak hanya bertahan, tetapi juga berbalik menyerang dengan membentuk poros ekonomi-politik baru di Asia Tenggara. ASEAN kini berada dalam posisi krusial, di antara dua kekuatan dunia. Apakah akan tetap menjadi kawasan netral, atau akan terjebak dalam tarik-menarik kepentingan antara Beijing dan Washington? Langkah Xi Jinping telah mengubah peta geopolitik Asia dan akan terus bergaung di masa depan.

Scroll to Top