Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kesehatan, semakin gencar dalam upaya menanggulangi HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS) dengan target eliminasi pada tahun 2030. Strategi komprehensif ini mencakup peningkatan edukasi masyarakat, deteksi dini yang diperluas, serta penguatan layanan pengobatan di seluruh pelosok negeri.
Indonesia menghadapi tantangan serius. Negara ini menduduki peringkat ke-14 dunia dalam jumlah Orang dengan HIV (ODHIV) dan peringkat ke-9 untuk kasus infeksi baru. Proyeksi menunjukkan bahwa pada tahun 2025, jumlah ODHIV akan mencapai sekitar 564.000 orang. Namun, masih banyak yang belum mengetahui statusnya. Dari mereka yang terdiagnosis, sebagian besar telah menjalani terapi antiretroviral (ARV), namun hanya sebagian kecil yang berhasil mencapai viral load tersupresi, kondisi di mana virus HIV tidak terdeteksi sehingga risiko penularan minimal.
Kasus HIV secara nasional terkonsentrasi di beberapa provinsi prioritas, seperti DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, hingga Papua dan Kepulauan Riau. Penyebaran kasus HIV sering terjadi di populasi kunci seperti laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL), waria, pekerja seks perempuan, dan pengguna narkoba suntik. Di Papua, penularan telah menyebar ke populasi umum, dengan tingkat prevalensi yang mengkhawatirkan.
Positivity rate HIV yang stagnan selama beberapa tahun terakhir menjadi perhatian utama. Sementara itu, kasus IMS justru menunjukkan tren peningkatan, terutama di kalangan usia muda. Tercatat ribuan kasus sifilis, sebagian besar merupakan kasus sifilis dini, termasuk kasus sifilis kongenital yang menular dari ibu ke bayi. Kasus gonore juga terpantau tinggi, terutama di DKI Jakarta.
IMS bukan hanya masalah kesehatan individu, melainkan isu kesehatan masyarakat yang krusial. IMS membuka jalan bagi penularan HIV, dan kasus terbanyak terjadi pada usia produktif, bahkan mulai meningkat pada usia remaja.
Human Papillomavirus (HPV), pemicu utama kanker serviks, menjadi infeksi menular yang sangat mengancam perempuan. Deteksi dini sangat penting untuk mencegah risiko kematian akibat kanker ini.
Pemahaman menyeluruh tentang kesehatan reproduksi sangat diperlukan. Banyak IMS dan infeksi saluran reproduksi (ISR) yang tidak menunjukkan gejala, terutama pada perempuan, sehingga sering kali terlambat ditangani. Dampak dari IMS yang tidak diobati bisa sangat serius, seperti radang panggul, kehamilan di luar kandungan, hingga kemandulan. Bayi yang lahir dari ibu dengan IMS berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan serius, bahkan kematian.
Tren kejadian IMS terus meningkat dari tahun ke tahun, dan usia penderita semakin muda. Sudah banyak kasus IMS maupun kehamilan tidak diinginkan pada remaja, yang mendorong tingginya angka aborsi.
Gejala IMS bervariasi, mulai dari luka atau lenting di area genital, cairan abnormal dari alat kelamin, nyeri saat buang air kecil, hingga ruam dan pembengkakan kelenjar. Penularan dapat terjadi melalui hubungan seksual dalam berbagai bentuk, pertukaran cairan tubuh, serta dari ibu ke anak selama masa kehamilan atau menyusui.
Untuk menekan laju penularan, pemerintah menargetkan tercapainya indikator 95-95-95 pada 2030: yaitu 95% ODHIV mengetahui statusnya, 95% dari mereka menjalani pengobatan, dan 95% dari yang diobati mencapai supresi virus. Selain itu, eliminasi sifilis dan gonore hingga 90% juga menjadi sasaran, serta mendorong program triple elimination (HIV, sifilis, dan hepatitis B) dari ibu ke anak.
Layanan tes HIV telah tersedia di sebagian besar kabupaten/kota, begitu pula layanan IMS dan tes viral load. Pemerintah terus menggalakkan kampanye pencegahan melalui pendekatan “ABCDE”: Abstinence (tidak berhubungan seksual sebelum menikah), Be faithful (setia pada satu pasangan), Condom (penggunaan kondom pada kelompok berisiko), Drugs (tidak menggunakan narkoba), dan Education (peningkatan kesadaran dan edukasi masyarakat).
Langkah-langkah ini menjadi fondasi utama Indonesia dalam mencapai eliminasi HIV dan IMS demi generasi yang lebih sehat dan bebas stigma.