Amerika Serikat (AS) meningkatkan tekanan pada sekutu-sekutunya di kawasan Asia-Pasifik, termasuk Jepang, untuk secara signifikan menaikkan anggaran pertahanan mereka. Permintaan ambisius ini mencapai 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh melampaui target yang saat ini direncanakan oleh banyak negara di kawasan.
Juru Bicara Pentagon, Sean Parnell, mengumumkan seruan ini, dengan alasan bahwa peningkatan belanja pertahanan sangat penting untuk memperkuat sistem pertahanan kolektif dan mewujudkan pembagian beban yang lebih adil di antara sekutu. Parnell menekankan bahwa ini bukan hanya tentang keamanan regional, tetapi juga kepentingan jangka panjang Amerika.
Permintaan AS ini merupakan eskalasi signifikan dari kebijakan sebelumnya di bawah pemerintahan Donald Trump, yang meminta Jepang untuk meningkatkan anggaran militernya menjadi 3% dari PDB. Lonjakan tuntutan menjadi 5% ini diperkirakan akan menimbulkan tantangan fiskal yang besar dan kemungkinan memicu perdebatan politik yang intens di Jepang.
Pemerintah Jepang saat ini berupaya mencapai target 2% dari PDB untuk pertahanan pada tahun 2027, sesuai dengan strategi keamanan nasional terbaru mereka. Kenaikan menjadi 5% akan menjadi beban besar pada anggaran negara dan berpotensi memicu kontroversi politik di dalam negeri.
Hiroshi Yamamoto, seorang pengamat hubungan internasional dari Universitas Tokyo, menggambarkan permintaan AS ini sebagai ujian penting bagi hubungan bilateral. Jepang dihadapkan pada dilema: di satu sisi, mereka ingin mempertahankan aliansi strategis dengan AS; di sisi lain, mereka menghadapi keterbatasan anggaran dan sensitivitas publik terhadap peningkatan militerisasi.
Langkah AS ini dipandang sebagai bagian dari strategi yang lebih luas untuk menghadapi ancaman regional, termasuk peningkatan aktivitas militer Tiongkok dan ketegangan di Laut China Selatan. Namun, beberapa analis berpendapat bahwa target 5% terlalu ambisius dan berpotensi mengganggu stabilitas regional jika tidak diimbangi dengan pendekatan diplomatik yang cermat.
Sikap NATO
Sementara itu, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez menyatakan bahwa negaranya tidak terikat untuk meningkatkan belanja pertahanan secepat anggota NATO lainnya. Sanchez mengklaim memiliki fleksibilitas khusus dari aliansi tersebut.
Namun, sejumlah diplomat NATO membantah klaim Sanchez, menegaskan bahwa tidak ada anggota yang dikecualikan dari komitmen belanja pertahanan yang telah disepakati. Komitmen tersebut menetapkan bahwa setiap negara harus mengalokasikan 3,5% PDB untuk kebutuhan militer inti dan tambahan 1,5% untuk belanja terkait pertahanan. Paket ini dirancang untuk memenuhi tuntutan mantan Presiden AS Donald Trump dan memperkuat kesiapan NATO dalam menghadapi ancaman dari Rusia.