Jurang Digital Menganga: Pendidikan Anak Bangsa di Daerah 3T Terancam

Pandemi COVID-19 telah mengubah wajah pendidikan secara global, tak terkecuali di Indonesia. Pembelajaran daring menjadi solusi, namun ironisnya, membuka lebar jurang ketidaksetaraan bagi siswa di wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T). Keterbatasan infrastruktur, perangkat, dan dukungan sosial menjadi batu sandungan yang menghambat akses mereka terhadap pendidikan digital.

Sinyal Hilang, Mimpi Terkikis: Infrastruktur Internet yang Belum Merata

Ketika sekolah-sekolah di kota dengan mudah beralih ke pembelajaran online, ribuan siswa di daerah 3T justru semakin tertinggal. Jaringan internet yang belum menjangkau pelosok negeri membuat mereka kesulitan mengakses materi pelajaran. Bahkan, banyak sekolah yang belum tersentuh jaringan 4G yang stabil.

Di daerah terpencil, siswa harus mendaki bukit demi mencari sinyal. Pembelajaran daring bukan lagi sebuah kemudahan, melainkan perjuangan yang berat. Siaran radio lokal dan fotokopi materi menjadi satu-satunya harapan. Ribuan desa masih belum merasakan manfaat jaringan 4G, terutama di wilayah Papua, Maluku, dan Kalimantan. Jangankan kecepatan tinggi, sinyal yang stabil saja sudah menjadi barang mewah.

Perangkat Impian: Akses Teknologi yang Mahal

Memiliki smartphone atau laptop adalah hal yang lumrah di kota besar. Namun, bagi keluarga di daerah 3T, memiliki satu perangkat digital saja sudah merupakan kemewahan. Banyak keluarga yang hanya mengandalkan ponsel biasa tanpa internet, atau terpaksa berbagi satu perangkat untuk seluruh anggota keluarga.

Akibatnya, siswa hanya bisa belajar saat bertemu langsung dengan guru, dengan waktu yang sangat terbatas. Platform daring seperti Zoom atau Google Classroom menjadi tidak relevan bagi mereka. Kesenjangan ekonomi memperburuk keadaan. Keluarga harus memilih antara membeli kuota internet atau memenuhi kebutuhan pokok. Hal ini berisiko menutup akses anak-anak terhadap keterampilan digital yang semakin penting di dunia kerja.

Literasi Digital Minim: Keterampilan yang Terabaikan

Teknologi bukan hanya soal alat, tapi juga keterampilan. Banyak siswa, guru, dan orang tua di daerah 3T yang belum familiar dengan platform digital. Fitur sederhana seperti email, Google Classroom, atau Zoom masih asing bagi mereka. Guru kesulitan menggunakan aplikasi video call karena belum pernah mendapat pelatihan digital. Pembelajaran menjadi tidak efektif, meskipun jaringan dan perangkat sudah tersedia.

Bahkan, siswa yang tergolong "digital native" pun belum tentu bisa menggunakan teknologi dengan benar. Mereka lebih terpapar pada media hiburan, tetapi tidak tahu cara mengakses sumber belajar digital. Literasi digital bukan sekadar bisa memakai HP, tapi soal memahami, memilah, dan menggunakan informasi secara tepat. Pelatihan kompetensi digital bagi tenaga pendidik dan siswa masih bersifat sporadis dan belum berkelanjutan.

Dampak Sosial yang Mengkhawatirkan: Kesenjangan dan Tekanan Mental

Ketimpangan akses digital menimbulkan dampak sosial yang besar. Anak-anak yang tertinggal merasa minder, stres, bahkan putus sekolah. Orang tua pun merasa terbebani karena kurangnya pemahaman teknologi. Peran orang tua sebagai pendamping belajar menjadi tidak maksimal. Akibatnya, terjadi ketegangan dalam keluarga dan penurunan semangat belajar pada anak-anak.

Siswa yang tidak bisa mengikuti kelas karena tidak punya perangkat merasa tertinggal dari teman-temannya. Rasa tertinggal ini menimbulkan perasaan minder, malu, bahkan frustrasi. Tekanan ini bukan hanya berasal dari luar, tapi juga dari dalam keluarga. Kesenjangan digital menciptakan jurang sosial baru. Anak-anak di kota memiliki akses terhadap teknologi dan informasi global, sementara anak-anak di pelosok hanya mengandalkan modul fotokopi yang terbatas. Ini memperbesar ketimpangan kualitas pendidikan, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap ketimpangan kesempatan ekonomi dan sosial di masa depan.

Solusi: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan

Mengatasi ketimpangan digital di daerah 3T membutuhkan pendekatan holistik dan berkelanjutan. Pembangunan infrastruktur yang merata, subsidi perangkat dan kuota internet bagi siswa miskin, serta pelatihan literasi digital yang berkelanjutan bagi guru dan keluarga adalah kunci utama. Ekosistem informasi yang adil harus berbasis pada konteks lokal, dengan pendampingan aktif agar teknologi benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat.

Pendidikan digital yang merata bukan sekadar cita-cita, tapi kebutuhan mendesak agar semua anak Indonesia memiliki kesempatan yang adil untuk masa depannya. Di era informasi seperti sekarang, memastikan tidak ada satu pun anak Indonesia yang tertinggal hanya karena ia lahir di tempat yang belum tersentuh sinyal adalah tanggung jawab kita bersama.

Scroll to Top