Dilema The Fed: Perang Dagang Ancam Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi AS

Bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), kini berada dalam posisi sulit akibat dampak perang dagang global. Ketua The Fed, Jerome Powell, mengungkapkan bahwa perang dagang menciptakan dilema dalam menentukan arah kebijakan moneter selanjutnya.

Sejak Maret, eskalasi ketegangan dagang, khususnya setelah pengumuman tarif oleh Presiden Donald Trump terhadap Meksiko, China, dan Jepang, semakin memperumit situasi. Walaupun implementasi tarif resiprokal ditunda, ketidakpastian tetap tinggi.

Dalam forum Economic Outlook di Chicago, Powell menyatakan bahwa The Fed terjebak di antara upaya mengendalikan inflasi dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

"Jika situasi ini berlanjut, kami akan menimbang seberapa jauh ekonomi telah menyimpang dari target yang ditetapkan, serta rentang waktu yang dibutuhkan untuk menutup kesenjangan tersebut," jelas Powell.

Saat ini, The Fed memilih untuk mengambil sikap menunggu dan melihat perkembangan lebih lanjut sebelum melakukan perubahan kebijakan yang signifikan.

Powell mengakui bahwa The Fed memperkirakan perang dagang akan memicu kenaikan inflasi, namun di sisi lain dapat menekan pertumbuhan ekonomi. Prioritas utama The Fed adalah menjaga inflasi mendekati target 2% dan mempertahankan tingkat pengangguran yang rendah.

Kebijakan The Fed akan sangat bergantung pada dua skenario utama. Jika inflasi meningkat, mereka cenderung mempertahankan atau bahkan menaikkan suku bunga untuk mendinginkan permintaan. Sebaliknya, jika pertumbuhan ekonomi melambat, penurunan suku bunga bisa menjadi opsi untuk mendorong aktivitas ekonomi.

Pelaku pasar memprediksi bahwa The Fed mungkin akan mulai menurunkan suku bunga pada bulan Juni, dengan potensi pemangkasan tiga hingga empat kali lipat secara bertahap hingga akhir tahun 2025.

Powell menambahkan bahwa data saat ini mengindikasikan adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama, dibandingkan dengan laju yang kuat di tahun sebelumnya. Meskipun penjualan kendaraan bermotor tetap stabil, pengeluaran konsumen secara keseluruhan hanya menunjukkan pertumbuhan moderat. Selain itu, impor yang tinggi pada kuartal pertama, sebagai antisipasi terhadap potensi tarif baru, diperkirakan akan membebani pertumbuhan PDB.

Data terbaru menunjukkan inflasi AS mencapai 2,4% (year-on-year) pada Maret 2025, sedikit menurun dibandingkan 2,8% pada Februari. Sementara itu, tingkat pengangguran naik menjadi 4,2% pada Maret, dari 4,1% pada Februari. Pertumbuhan PDB pada kuartal IV-2025 tercatat sebesar 2,4% (yoy), lebih rendah dari 3,1% pada kuartal sebelumnya.

Sejumlah indikator lain juga menunjukkan potensi perlambatan ekonomi, termasuk Indeks Kepercayaan Konsumen Michigan yang mencapai titik terendah sejak Juni 2022. The Fed Atlanta bahkan memproyeksikan ekonomi AS akan mengalami kontraksi sebesar -0,1% pada kuartal I-2025.

Scroll to Top