Krisis Sunyi Generasi Muda: Kecanduan Internet Menggerogoti Masa Depan Bangsa

Kisah Anoman Asmarakanda, seorang remaja cerdas yang terjerat dalam dunia maya, adalah cerminan dari masalah yang lebih besar: adiksi internet di kalangan generasi muda Indonesia. Dulu berprestasi, kini Anoman kehilangan minat pada interaksi sosial dan nilai-nilai spiritual karena terlalu lama terpapar konten daring.

Riset menunjukkan bahwa kecanduan internet berkorelasi erat dengan menurunnya interaksi interpersonal. Remaja seperti Anoman menjadi terasing, emosi mereka labil, dan sulit menghadapi tekanan dunia nyata. Dunia maya yang semula menjadi pelarian, justru menciptakan kehampaan batin dan depresi.

Survei terbaru mengungkap fakta mencengangkan: jutaan anak muda Indonesia, khususnya Generasi Y dan Z, berada dalam cengkeraman adiksi digital yang parah. Gejala khasnya meliputi kegelisahan ekstrem saat tidak terhubung, gangguan tidur, hilangnya minat pada interaksi nyata, dan kecenderungan menarik diri ke dunia digital. Internet bukan lagi alat bantu, melainkan "narkoba legal" yang melemahkan.

Tragedi di Polandia dan Korea Selatan menjadi pengingat pahit akan dampak fatal adiksi internet. Obsesi terhadap dunia maya bisa menggantikan hubungan sosial riil dan berujung pada tindakan tragis seperti bunuh diri atau pembunuhan.

Pemerintah, dunia pendidikan, dan keluarga memiliki tanggung jawab besar untuk mengatasi krisis ini. Kebijakan literasi digital nasional, detoks internet berbasis komunitas, dan kurikulum kesadaran digital sejak sekolah dasar adalah langkah-langkah penting.

Orang tua perlu menjadi pendamping digital bagi anak-anak mereka, bukan sekadar pengawas atau pemberi larangan. Kebiasaan makan malam tanpa gawai, percakapan tatap muka harian, dan teladan dalam penggunaan gadget perlu menjadi bagian dari budaya rumah.

Setiap individu perlu belajar menjadi manusia dewasa digital yang tahu kapan harus terkoneksi dan kapan harus hadir penuh dalam realitas. Kebebasan digital sejati adalah mampu memilih dengan sadar.

Jika tidak segera bertindak, kita berisiko kehilangan satu generasi karena kehilangan daya hadir, daya fokus, dan daya hidup. Generasi Y dan Z butuh lebih banyak perhatian, makna, dan kehadiran, bukan sekadar fitur dan algoritma. Inilah saatnya untuk bertindak dengan keberanian, kebijakan, dan kasih sayang.

Scroll to Top