Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, menjalani pemeriksaan sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan suap terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR, Harun Masiku, serta upaya menghalangi penyidikan. Jaksa menggali informasi mengenai alasan penunjukan Harun, yang saat itu dianggap sebagai kader terbaik, untuk menggantikan Nazarudin Kiemas.
Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, jaksa menyoroti rapat pleno DPP PDIP terkait pelimpahan suara Nazarudin Kiemas, peraih suara terbanyak di Dapil 1 Sumatera Selatan. Jaksa mempertanyakan apakah DPP PDIP kembali menggelar rapat pleno setelah adanya putusan uji materi dari Mahkamah Agung. Hasto membenarkan adanya rapat tersebut.
Jaksa kemudian menanyakan dasar keputusan rapat pleno yang menetapkan Harun Masiku sebagai penerima limpahan suara. "Apakah Harun merupakan kader terbaik sehingga ditetapkan menerima pelimpahan suara Nazarudin?" tanya jaksa. Hasto menjawab bahwa keputusan tersebut merupakan diskresi DPP PDIP berdasarkan pertimbangan hukum dalam judicial review.
Meskipun demikian, Hasto mengklarifikasi bahwa tidak ada istilah "kader terbaik" secara eksplisit dalam hasil rapat pleno. Menurutnya, keputusan menetapkan Harun didasarkan pada fakta bahwa Harun memperoleh beasiswa dari Ratu Elizabeth dan memiliki latar belakang di bidang hukum ekonomi internasional. "Jadi, langsung menetapkan berdasarkan pertimbangan bahwa Saudara Harun Masiku mendapatkan beasiswa dari Ratu Elizabeth, dan kemudian international economic of law maka ditetapkan Saudara Harun Masiku untuk menggantikan Bapak Nazarudin Kiemas," jelas Hasto.
Hasto menegaskan bahwa rapat pleno memutuskan Harun sebagai penerima limpahan suara, bukan sebagai kader terbaik. "Kalau maknanya dari keputusan itu kader terbaik, tapi tidak ada keputusan bahwa Harun Masiku adalah kader terbaik. Tidak ada bunyi keputusan seperti itu, yang bunyinya hanya kader Harun Masiku ditetapkan sebagai pengganti," ujarnya.
Selain itu, jaksa juga menggali informasi mengenai surat yang dikirimkan DPP PDIP kepada KPU untuk melaksanakan putusan judicial review. Hasto membenarkan hal tersebut.
Sebagai informasi, Hasto didakwa menghalangi penyidikan kasus suap Harun Masiku, yang telah menjadi buronan sejak tahun 2020. Hasto juga didakwa menyuap mantan komisioner KPU, Wahyu Setiawan, sebesar Rp 600 juta untuk memuluskan penetapan Harun Masiku sebagai anggota DPR PAW.