Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Aceh mengambil langkah strategis dengan menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk merumuskan aturan teknis penyiaran internet di Aceh. FGD ini menjadi tonggak awal dalam memperkuat pengawasan terhadap konten digital, sejalan dengan Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2024 yang mengakui media digital sebagai bagian integral dari sistem penyiaran.
Koordinator Bidang Pengembangan Kebijakan Sistem Penyiaran KPI Aceh menekankan bahwa lanskap penyiaran telah bergeser ke ranah digital yang dinamis, menembus batasan perangkat konvensional. Platform seperti YouTube dan TikTok kini menjadi wadah konten berseri dan siaran langsung, namun belum sepenuhnya diawasi. Oleh karena itu, aturan yang jelas menjadi krusial.
Meskipun Qanun telah memberikan landasan hukum, aturan turunan berupa Peraturan Gubernur (Pergub) dan Peraturan KPI Aceh (PKPIA) yang lebih implementatif dan adaptif sangat diperlukan. Komisioner KPI Aceh lainnya menegaskan urgensi regulasi teknis agar ruang digital tidak menjadi liar dan masyarakat Aceh terlindungi dari konten yang tidak mendidik.
Kepala Biro Hukum Setda Aceh menekankan bahwa Pergub harus selaras dengan Qanun dan tidak boleh menafsirkan ulang norma yang telah ditetapkan. Pergub sebaiknya fokus pada hubungan antarlembaga dan aspek teknis, sementara KPI dapat mengatur lebih fleksibel melalui PKPIA.
Akademisi Universitas Syiah Kuala mengingatkan pentingnya menjaga identitas Aceh sebagai daerah kekhususan melalui regulasi penyiaran yang berbasis syariat Islam dan nilai lokal. Media di Aceh tidak boleh kehilangan arah dan harus ada regulasi yang menjaga nilai-nilai tersebut.
Komisioner KPI Pusat menyoroti peran media sosial dalam membentuk opini publik dan pentingnya tanggung jawab platform dalam menjaga ekosistem digital. Platform harus memiliki mekanisme aduan yang jelas, pengawasan internal, dan pelaporan rutin mengenai konten bermasalah ke KPI.
Kepala Dinas Komunikasi, Informatika dan Persandian Aceh menyatakan kesiapan infrastruktur teknologi Aceh, namun menekankan pentingnya kesiapan sumber daya manusia dan budaya digital masyarakat. Penguatan SDM dan literasi masyarakat menjadi kunci.
Sekretaris Komisi I DPR Aceh menegaskan bahwa penguatan regulasi digital adalah bagian dari menjaga marwah Aceh sebagai wilayah berbudaya dan bermartabat. Perjuangan kewenangan penuh terhadap media di Aceh menjadi penting.
Akademisi UIN Ar-Raniry menyoroti konsumsi media digital yang masif namun belum diimbangi dengan kesiapan budaya dan etika masyarakat. KPI harus mendorong literasi digital secara lebih luas.
Pakar dari Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) mengingatkan pentingnya peta jalan (roadmap) penyiaran digital yang meliputi aspek teknis, model bisnis, dan sistem pengawasan.
Diskusi FGD menghasilkan sejumlah rekomendasi awal, termasuk penyusunan draft Pergub dan PKPIA, klasifikasi lembaga penyiaran internet di Aceh, integrasi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) ke dalam penyiaran digital, serta pembentukan helpdesk pengaduan konten digital di bawah KPIA.
KPI Aceh berkomitmen tidak hanya sebagai pengawas, tetapi juga sebagai fasilitator yang mengarahkan transformasi ruang digital Aceh agar tetap sehat, kreatif, dan sesuai nilai-nilai Islam. Pembangunan ruang siaran digital yang edukatif, inklusif, dan Islami menjadi visi utama.