Selat Hormuz, jalur sempit yang krusial bagi lalu lintas kapal tanker minyak dunia, kembali menjadi pusat perhatian global. Ancaman blokade oleh Iran memicu kekhawatiran internasional, terutama bagi negara-negara yang bergantung pada pasokan energi dari kawasan Timur Tengah. Amerika Serikat bahkan meminta bantuan China untuk meredakan ketegangan dan mencegah Iran menutup selat strategis ini.
Namun, Selat Hormuz juga menjadi ajang unjuk kekuatan maritim Iran. Laporan menyebutkan bahwa Iran memiliki ribuan kapal penyerang cepat (FAC) yang siap beroperasi dalam formasi "kawanan". Kapal-kapal ini, dilengkapi dengan senapan mesin berat, peluncur roket, dan rudal anti-kapal, mampu menenggelamkan target seberat ribuan ton. Kekuatan laut Iran, yang merupakan bagian dari pasukan elite Garda Revolusi, dianggap sebagai ancaman serius bagi kapal tanker yang melintas di selat tersebut.
Kemampuan maritim Iran terus berkembang. Angkatan Laut Iran telah menerima rudal jelajah jarak jauh yang dilengkapi dengan sistem kecerdasan buatan. Selain itu, rudal Abu Mahdi, yang memiliki jangkauan lebih dari 1.000 kilometer, telah ditempatkan di kapal perusak Moudge Class. Rudal ini mampu menghantam kapal perang sekelas frigat dan kapal perusak dari berbagai arah.
Garis pantai Iran di Selat Hormuz memberikan berbagai opsi taktis, mulai dari mengganggu kapal-kapal dengan patroli kecil dan cepat, hingga tindakan ekstrem seperti menyerang kapal tanker dengan rudal dan drone.
Selat Hormuz juga memiliki sejarah kelam terkait insiden maritim. Pada tahun 1988, fregat Angkatan Laut AS USS Samuel B. Roberts menabrak ranjau yang diduga dipasang oleh Iran. Amerika Serikat merespons dengan serangan intensif terhadap kapal angkatan laut Iran, yang mengakibatkan tenggelamnya fregat Iran Sahand dan puluhan korban jiwa.