Jakarta – Misteri di balik kematian tragis Juliana Marins, pendaki asal Brasil yang terjatuh ke jurang saat pendakian, akhirnya terkuak. Hasil autopsi mengungkap bahwa Marins meninggal dunia akibat luka parah yang disebabkan oleh benturan keras, bukan karena hipotermia seperti yang sempat diduga.
Dokter forensik dari RSUP Prof IGNG Ngoerah, Denpasar, menjelaskan bahwa perkiraan waktu bertahan hidup Marins setelah terjatuh adalah sekitar 20 menit. Saat terjatuh pada Sabtu (21/6), korban sempat terekam kamera drone dalam kondisi masih bergerak. Namun, saat tim SAR melakukan pencarian menggunakan drone thermal, Marins sudah tidak bergerak lagi. Jasad Marins baru ditemukan pada Selasa (24/6) di kedalaman 600 meter dari titik terakhir keberadaannya.
Autopsi menunjukkan adanya patah tulang di bagian dada belakang, tulang punggung, dan paha. Benturan keras ini memicu perdarahan internal yang fatal. Luka paling parah ditemukan di bagian dada belakang, yang merusak organ-organ penting yang berhubungan dengan pernapasan.
"Jadi kalau kita lihat yang paling terparah, itu adalah yang berhubungan dengan pernapasan. Yaitu ada luka-luka terutama di dada-dada, terutama di dada-dada bagian belakang tubuhnya. Itu yang merusak organ-organ di dalamnya," ujarnya.
Lebih lanjut, hasil autopsi membantah dugaan bahwa Marins meninggal karena hipotermia. Tidak ditemukan tanda-tanda hipotermia seperti ujung jari menghitam. Organ limpa juga tidak menunjukkan tanda-tanda mengkerut yang biasanya terjadi akibat hipotermia.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyebab utama kematian Juliana Marins adalah trauma berat akibat benturan keras saat terjatuh ke dalam jurang, bukan karena kondisi suhu dingin yang ekstrim.