Isu kuota internet prabayar yang hangus dan berpotensi merugikan konsumen hingga Rp 63 triliun menjadi sorotan. Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) pun angkat bicara mengenai hal ini.
Direktur Eksekutif ATSI, Marwan O. Baasir, menegaskan bahwa mekanisme masa aktif dan pemakaian kuota data telah sesuai dengan regulasi yang berlaku serta praktik umum di industri. Penetapan harga, kuota, dan masa aktif layanan prabayar selaras dengan Peraturan Menteri Kominfo No. 5 Tahun 2021, yang mengatur batas waktu penggunaan deposit prabayar.
Marwan menambahkan, ketentuan ini juga sejalan dengan aturan Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan yang menyatakan bahwa pulsa bukanlah alat pembayaran sah atau uang elektronik, sehingga dikenakan PPN seperti barang konsumsi lainnya.
ATSI menjelaskan bahwa pemberlakuan masa aktif pada paket data adalah hal yang wajar dalam industri telekomunikasi. Kuota internet didasarkan pada lisensi spektrum frekuensi yang diberikan pemerintah dalam jangka waktu tertentu, berbeda dengan listrik atau saldo kartu tol yang berdasarkan volume pemakaian. Praktik serupa juga diterapkan di sektor lain seperti tiket transportasi, voucher, dan keanggotaan klub. Bahkan, operator global di Australia dan Malaysia juga memberlakukan kebijakan serupa, di mana kuota hangus jika tidak digunakan dalam periode tertentu.
ATSI menekankan transparansi sebagai prinsip utama pelayanan pelanggan. Setiap operator anggota telah menyampaikan informasi lengkap mengenai masa aktif, kuota, dan hak pelanggan melalui situs resmi dan saat pembelian. Pelanggan memiliki kebebasan untuk memilih paket data sesuai kebutuhan. ATSI juga membuka diri untuk berdialog dengan semua pihak terkait demi meningkatkan literasi digital masyarakat dan mendorong kebijakan yang adil bagi konsumen serta mendukung keberlangsungan industri.
Isu ini mencuat setelah Anggota Komisi I DPR RI menyoroti potensi kerugian negara akibat praktik hangusnya kuota internet. Berdasarkan data Indonesian Audit Watch (IAW), kerugiannya diperkirakan mencapai Rp 63 triliun per tahun. DPR menilai model bisnis yang membiarkan kuota hangus menyangkut prinsip keadilan dan transparansi. Kuota yang telah dibeli masyarakat adalah hak yang seharusnya tidak hilang begitu saja. Hal ini bukan hanya masalah teknis, tetapi juga soal transparansi dan keadilan yang perlu ditindaklanjuti.