Singapura Naikkan Batas Usia Donor Darah Demi Selamatkan Nyawa

Jakarta – Singapura mengambil langkah progresif dengan menaikkan batas usia maksimal pendonor darah, dari yang semula 60 tahun menjadi 65 tahun. Keputusan ini diumumkan oleh Menteri Kesehatan Ong Ye Kung dan akan diberlakukan mulai 1 Januari 2026.

Langkah ini diambil sebagai respons terhadap peningkatan usia harapan hidup dan kondisi kesehatan warga lansia Singapura. Data menunjukkan bahwa risiko efek samping donor darah justru cenderung menurun seiring bertambahnya usia. Oleh karena itu, tidak ada alasan medis yang kuat untuk membatasi usia donor pada 60 tahun.

Dengan perubahan ini, Singapura menyelaraskan diri dengan negara-negara maju lainnya seperti Hong Kong, Taiwan, Irlandia, Belanda, Korea Selatan, dan Inggris, yang telah lebih dulu menerapkan kebijakan serupa. Sebelumnya, warga yang ingin menjadi pendonor pertama kali harus berusia di bawah 60 tahun, dan pendonor rutin dapat terus menyumbang hingga usia 65 tahun atau lebih, asalkan memenuhi syarat kesehatan.

Menghadapi Tantangan Populasi Menua

Singapura menghadapi tantangan serius dalam menjaga ketersediaan darah nasional. Populasi yang menua menyebabkan peningkatan permintaan darah, sementara jumlah pendonor yang memenuhi syarat semakin berkurang. Jumlah pendonor baru mengalami penurunan dari 20.000 orang pada tahun 2013 menjadi hanya 18.000 orang pada tahun 2024. Di sisi lain, kebutuhan darah terus meningkat, dengan lebih dari 35.000 pasien menerima transfusi darah pada tahun 2024 untuk berbagai keperluan medis, termasuk operasi, pengobatan kanker, dan komplikasi persalinan.

Setiap kantong darah yang disumbangkan dapat menyelamatkan hingga tiga nyawa. Kurangnya pasokan darah dapat menunda layanan medis penting dan mengancam nyawa pasien. Singapura juga menghadapi fluktuasi musiman dalam suplai darah, terutama saat liburan, musim perayaan, atau akhir pekan panjang ketika banyak warga bepergian ke luar negeri.

Semangat Gotong Royong sebagai Kunci

Menteri Ong juga berbagi pengalaman pribadinya, di mana ia sempat tidak bisa mendonorkan darah karena pernah tinggal di Inggris pada era wabah penyakit sapi gila (vCJD). Namun, dengan pembaruan pedoman donor, ia kini dapat menyumbangkan darah melalui metode aferesis, yang meminimalkan risiko penularan vCJD.

Terlepas dari perubahan kebijakan dan sistem, keberhasilan program donor darah nasional tetap bergantung pada semangat gotong royong masyarakat. "Mendonor itu memberi kebahagiaan," kata Ong, mengajak masyarakat untuk terus berpartisipasi dalam misi penting ini demi memastikan pasokan darah Singapura tetap aman dan berkelanjutan untuk generasi mendatang.

Scroll to Top