Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengamanatkan pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah menuai perdebatan. Seorang anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Irawan, secara tegas menyatakan ketidaksetujuannya. Menurutnya, putusan MK tersebut keliru dan bertentangan dengan UUD 1945 yang secara eksplisit menyatakan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali, termasuk untuk memilih anggota DPRD. Irawan berpendapat bahwa revisi UU Pemilu saja tidak cukup, melainkan diperlukan amandemen UUD 1945 untuk melakukan koreksi dan penataan yang komprehensif. Ia juga menyoroti bahwa MK telah terlalu jauh memasuki ranah legislatif dan teknis implementasi.
Berbeda pandangan, anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDIP, Deddy Sitorus, menganggap putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak terlalu mempermasalahkan konsekuensinya, termasuk potensi perpanjangan masa jabatan anggota DPRD. Ia lebih menekankan perlunya memikirkan landasan hukum yang tepat, mengingat masa jabatan DPRD diatur dalam UUD dan harus melalui pemilu. Sitorus juga mendorong perpanjangan masa jabatan kepala daerah daripada menunjuk Penjabat (Pj), karena menurutnya penunjukan Pj dapat merusak siklus pemerintahan daerah dan mengacaukan pemilu.
Sebelumnya, MK memutuskan pemilu nasional dipisah dari pemilu daerah, dengan jarak waktu antara keduanya paling lama 2 tahun 6 bulan. Putusan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pemilihan serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota harus dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota DPR dan DPD, atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden.