Analogi yang menyamakan kecerdasan buatan (AI) dengan psikopat memang kerap kali memicu perdebatan. Judul-judul provokatif semacam ini mungkin menarik perhatian, tetapi apakah ada substansi serius di balik perbandingan yang terkesan sensasional ini?
Intinya, analogi ini muncul karena AI dan psikopat dianggap memiliki kesamaan: sama-sama "amoral" dan "rasional". Keduanya mampu membuat perhitungan untung rugi tanpa terbebani emosi. AI, layaknya seorang psikopat, mampu meniru bahasa moral, tetapi tanpa merasakan apa pun. Ini menciptakan gambaran menakutkan tentang teknologi canggih yang dingin dan tanpa empati.
Mengapa analogi ini begitu populer? Manusia memang cenderung takut pada hal-hal yang tidak diketahuinya. Psikopat adalah monster yang diciptakan psikologi, sementara AI adalah monster yang diciptakan teknologi. Pertemuan keduanya menghasilkan horor intelektual: robot tanpa hati nurani, algoritma tanpa belas kasihan.
Namun, kita perlu berhati-hati. Analogi ini harus dianalisis secara mendalam, bukan sekadar dijadikan sensasi. AI tidak memiliki kesadaran (sentience), tidak bisa merasakan sakit, apalagi penderitaan eksistensial. Psikopat, di sisi lain, adalah manusia utuh secara biologis, tetapi memiliki kekurangan dalam hal emosi. AI diprogram, sedangkan psikopat memilih (meski tanpa empati).
Lantas, apa gunanya analogi ini? Analogi ini menantang pemahaman kita tentang tanggung jawab moral dan hukum. Jika psikopat tidak bisa bertanggung jawab secara moral karena kurangnya emosi, apakah AI juga demikian? Atau, apakah kapasitas rasional sudah cukup untuk menghukum tindakan destruktif, tanpa mempertimbangkan hati nurani?
Diskusi tentang AI sering kali terjebak pada anggapan bahwa manusia adalah pusat moralitas, sementara mesin selalu menjadi pihak yang bersalah. Apakah ini karena kita takut digantikan, atau sekadar ikut-ikutan tren teknologi yang belum sepenuhnya kita pahami?
Ada dua kutub pandang dalam hal ini: penolakan (denial thesis) dan penerimaan (acceptance thesis). Penolakan menyatakan bahwa tanpa emosi moral, AI maupun psikopat tidak layak dihukum. Ini sejalan dengan teori yang mengutamakan "rasa" sebagai dasar moralitas. Penerimaan, sebaliknya, menekankan bahwa kemampuan berpikir dan bertindak rasional sudah cukup untuk menanggung tanggung jawab, bahkan tanpa adanya hati nurani.
Dalam hukum, psikopat tetap dihukum meskipun argumen tentang kurangnya emosi moral sering diajukan. Hukum lebih fokus pada bukti niat dan tindakan (mens rea). Jika psikopat dihukum, mengapa AI tidak?
Namun, ada satu hal yang perlu diingat: kemampuan untuk "menderita" adalah dasar dari hukuman. Apa gunanya menghukum AI jika ia tidak memahami apa itu penderitaan? Ini bukan hanya soal kemajuan teknologi, tetapi juga soal pemahaman kita tentang "keadilan". Jika AI hanya diprogram untuk menghindari hukuman secara kalkulatif, apakah kita sedang menciptakan makhluk yang hanya hidup untuk menghindari denda?
Analogi ini juga membuka kelemahan dalam pemikiran kita sendiri. Jika kita konsisten dengan penolakan, seharusnya psikopat juga dibebaskan dari tanggung jawab pidana. Namun, kenyataannya tidak demikian. Ini menunjukkan bahwa hukum lebih sering pragmatis daripada filosofis. Jika kita konsisten dengan penerimaan, AI akan diperlakukan seperti korporasi: subjek hukum yang bisa dihukum, meskipun tanpa hati nurani.
Pada akhirnya, "AI sebagai psikopat" adalah cermin kebingungan filosofis kita. Kita menginginkan teknologi secerdas manusia, tetapi tidak siap menerima konsekuensi moralnya. Kita ingin menghukum tanpa memastikan bahwa si terhukum benar-benar "merasakan" hukuman itu. Kita suka bermain-main dengan kata "tanggung jawab", padahal sering kali lupa siapa sebenarnya yang bertanggung jawab ketika teknologi lepas kendali: manusia, mesin, atau logika pasar?
Pertanyaan klasik yang patut direnungkan: siapa yang lebih berbahaya, AI tanpa hati atau manusia yang menyerahkan moralitasnya pada mesin? Tugas kita adalah terus mempertanyakan, bukan memberikan jawaban yang menenangkan. Dalam dunia di mana algoritma dan psikopati saling bersaing menjadi headline, skeptisisme mungkin adalah satu-satunya moralitas yang tersisa.