Tragedi Gaza: Serangan Israel Tewaskan Puluhan Warga Sipil yang Mengantre Bantuan

Kekerasan kembali merenggut nyawa puluhan warga Palestina di Jalur Gaza, di tengah krisis kemanusiaan yang semakin mendalam. Serangan udara Israel, yang dimulai sejak Minggu (30/6/2025), dilaporkan telah menewaskan sedikitnya 68 orang.

Kota Gaza dan wilayah utara Gaza menjadi saksi bisu jatuhnya korban jiwa, dengan 47 orang tewas. Tragisnya, lima di antaranya meregang nyawa saat berusaha mendekati pusat distribusi bantuan makanan yang dikelola oleh Gaza Humanitarian Foundation (GHF) di utara Rafah.

GHF, sebuah lembaga bantuan yang didukung oleh Israel dan Amerika Serikat, kini menjadi pusat perhatian. Lokasi distribusinya kerap kali menjadi sasaran tembak militer Israel. Data dari Kantor Media Pemerintah Gaza mencatat, lebih dari 580 warga Palestina tewas dan lebih dari 4.000 terluka saat mendekati pusat-pusat distribusi bantuan sejak akhir Mei.

Laporan surat kabar Israel, Haaretz, mengindikasikan adanya perintah dari tentara Israel untuk menembaki kerumunan warga sipil tak bersenjata yang mencoba mendapatkan bantuan, dengan tujuan "menghalau" mereka.

Pengacara hak asasi manusia internasional, Geoffrey Nice, mengecam tindakan tersebut sebagai "tidak bisa dijelaskan". Ia menyatakan keheranannya atas "pembantaian terhadap ratusan orang" di lokasi yang seharusnya memberikan bantuan kemanusiaan.

Serangan Israel menghantam berbagai wilayah sejak dini hari. Dua anak dilaporkan tewas dalam serangan terhadap rumah tinggal di kawasan Zeitoun, Gaza City. Di wilayah pesisir al-Mawasi, sebuah tenda darurat juga menjadi sasaran, menewaskan lima orang. Selain itu, dilaporkan penggunaan bahan peledak jebakan untuk menghancurkan lingkungan pemukiman di Khan Younis, dengan dalih memburu batalion Hamas.

Kondisi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk akibat pengepungan dan kehancuran. Christy Black, seorang relawan perawat asal Australia yang bertugas di rumah sakit di Gaza City, mengungkapkan bahwa persediaan nutrisi untuk ibu hamil dan bayi sangat menipis. Banyak ibu tidak mampu memproduksi ASI, sementara susu formula tidak tersedia.

"Anak-anak paling rentan sedang sekarat," ujar Black. Ia menambahkan bahwa luka-luka sulit sembuh akibat malnutrisi, serta peningkatan kasus infeksi saluran pernapasan akibat debu dan gas dari bom. "Kami melihat anak-anak mengais tempat sampah mencari makanan … anak-anak usia 9 atau 10 tahun yang tubuhnya seperti balita dua tahun," pungkasnya.

Scroll to Top