Jakarta – Anggaran subsidi listrik tahun 2025 diperkirakan akan melampaui alokasi yang telah ditetapkan dalam APBN. Proyeksi menunjukkan angka Rp 90,32 triliun, lebih tinggi dari pagu APBN sebesar Rp 87,72 triliun, sehingga terdapat potensi selisih sekitar Rp 2,6 triliun.
Menurut pejabat Kementerian ESDM, beberapa faktor utama menjadi penyebab potensi pembengkakan ini. Inflasi, fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, serta dinamika harga minyak mentah Indonesia (ICP) memegang peranan penting.
Dalam rapat dengar pendapat di DPR, disampaikan bahwa pelanggan 450 VA dan 900 VA masih menjadi kelompok penerima subsidi terbesar, diikuti oleh pelaku usaha kecil, industri, serta sektor sosial.
Perhitungan proyeksi subsidi 2025 menunjukkan angka Rp 90,32 triliun dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sulit dikendalikan, terutama ICP, nilai tukar, dan inflasi.
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sejak tahun 2020 memiliki dampak signifikan terhadap peningkatan subsidi. Data menunjukkan tren pelemahan rupiah dari Rp 14.577 per dolar AS pada tahun 2020, hingga mencapai Rp 15.847 pada tahun 2024. Proyeksi nilai tukar rupiah pada tahun 2025 adalah Rp 16.000, namun pada bulan Mei 2025, nilai tukar sudah menembus angka Rp 16.452 per dolar AS.
Realisasi subsidi listrik tahun 2024 mencapai Rp 77,05 triliun (audited). Data menunjukkan tren peningkatan realisasi subsidi dari tahun ke tahun. Pada tahun 2020, subsidi tercatat sebesar Rp 48 triliun, kemudian meningkat menjadi Rp 50 triliun pada tahun 2021, Rp 59 triliun pada tahun 2022, dan Rp 68 triliun pada tahun 2023.
Hingga Mei 2025, penyerapan subsidi telah mencapai Rp 35 triliun, dengan proyeksi total sebesar Rp 90,32 triliun untuk keseluruhan tahun.
Saat ini, terdapat 24,7 juta pelanggan listrik kategori 450 VA dan 10,9 juta pelanggan kategori 900 VA. Total pelanggan PLN yang terdata hingga Mei 2025 mencapai 85,40 juta.