Nilai tukar rupiah menunjukkan tren positif terhadap dolar Amerika Serikat, bahkan berpotensi kembali ke level Rp 15.000 per dolar AS.
Pada perdagangan Senin (30 Juni 2025) pukul 09:51 WIB, rupiah berada di level Rp16.215/US$, sedikit melemah 0,10% dari penutupan sebelumnya. Koreksi ini dianggap wajar setelah penguatan signifikan pasca pengumuman gencatan senjata antara Israel dan Iran pada 23 Juni oleh Presiden AS Donald Trump. Situasi ini meredakan ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan memberikan dampak positif bagi aset negara berkembang, termasuk Indonesia.
Rebound Rupiah dari Titik Terendah
Pekan lalu, rupiah ditutup menguat 1,10% ke level Rp16.199/US$. Secara bulanan, rupiah telah terapresiasi 0,40% terhadap dolar AS. Sejak level terlemahnya pada 9 April 2025 di Rp16.855/US$, rupiah telah menguat 3,83%.
Pelemahan tajam sebelumnya terjadi saat Presiden AS Donald Trump menerapkan tarif impor ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Awalnya, Indonesia dikenakan tarif ekspor ke AS sebesar 32%, namun kemudian diturunkan menjadi 10% untuk semua negara kecuali China. Pengumuman tarif pada 2 April 2025, saat pasar keuangan Indonesia libur lebaran, menyebabkan rupiah ambruk 1,8% ke Rp 16.850/US$1 saat perdagangan dibuka kembali pada 8 April 2025. Posisi tersebut adalah yang terlemah sepanjang tahun ini.
Sejak itu, rupiah perlahan menguat seiring berkurangnya tekanan eksternal, membaiknya sentimen pasar, dan meredanya ketegangan perang dagang.
Faktor Pendorong Penguatan Rupiah
Pelemahan indeks dolar AS menjadi salah satu faktor utama penguatan rupiah. Hingga akhir Juni 2025, indeks dolar AS telah terkoreksi 10,38% sepanjang tahun ini, berada di level 97,22. Bahkan sempat menyentuh 97,14, posisi terlemahnya dalam tiga tahun.
Tekanan terhadap dolar AS semakin dalam akibat penurunan permintaan aset safe haven, kekhawatiran fiskal AS, dan penurunan imbal hasil obligasi AS seiring ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter AS.
Gencatan senjata antara Iran dan Israel juga menjadi katalis penting yang meredakan tensi geopolitik global. Dampak langsungnya terlihat pada harga minyak mentah dunia yang kembali turun di bawah US$70 per barel, menguntungkan Indonesia sebagai negara importir minyak dan menurunkan tekanan pada neraca transaksi berjalan.
Selain itu, ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed juga mendorong penguatan rupiah. Pelaku pasar memperkirakan peluang The Fed akan mulai memangkas suku bunga pada September 2025 mencapai 67%, sementara untuk pemangkasan lebih cepat pada Juli hanya sekitar 19%. Ekspektasi ini melemahkan dolar AS dan membuka ruang apresiasi bagi mata uang negara berkembang seperti rupiah.
Menuju Rp 15.000 per Dolar AS?
Terakhir kali rupiah berada di level Rp15.900/US$ terjadi pada 16 Desember 2024, sebelum kembali melemah di atas level Rp16.000/US$.
Ekonom Senior Sucor Sekuritas, Ahmad Mikail Zaini, menyatakan bahwa gencatan senjata Israel-Iran menjadi katalis utama penguatan rupiah, ditambah dengan potensi pemangkasan suku bunga The Fed pada Juli. Ia memperkirakan rupiah berpotensi menguat ke Rp15.900/US$.
Ekonom DBS, Radhika Rao, menambahkan bahwa pengurangan penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan meningkatnya minat pada tenor pendek mendorong penguatan pasar obligasi Indonesia. Ia memperkirakan imbal hasil acuan jangka panjang akan turun menuju 6,6%, didukung oleh stimulus fiskal tengah tahun seperti subsidi transportasi dan utilitas yang berpotensi memberi tekanan disinflasi ke beberapa sektor.
Rupiah berpotensi menguat lebih lanjut dan menembus kembali level Rp15 ribuan /US$ jika kombinasi faktor global dan domestik terus mendukung. Stabilitas harga minyak, kebijakan moneter The Fed, serta pengelolaan fiskal dan pasar oleh pemerintah menjadi kunci arah rupiah ke depan.