Kebijakan Co-Payment Asuransi Kesehatan Ditunda: Ini Fakta Pentingnya!

Rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menerapkan kebijakan co-payment dalam asuransi kesehatan mengalami penundaan. Kebijakan yang mewajibkan nasabah membayar 10% dari total klaim biaya pengobatan ini sebelumnya dijadwalkan berlaku mulai 1 Januari 2026.

Co-payment sendiri merupakan bagian dari Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Produk Asuransi Kesehatan. Skema ini menetapkan batas maksimum pembayaran peserta, yaitu Rp 300 ribu per klaim rawat jalan dan Rp 3 juta per klaim rawat inap. Perusahaan asuransi berhak menetapkan nilai lebih tinggi jika disepakati dalam polis.

Namun, setelah pembahasan intensif dengan DPR, implementasi kebijakan ini ditangguhkan. Berikut adalah beberapa fakta penting terkait penundaan ini:

1. Pembahasan Mendalam di DPR

Komisi XI DPR RI memanggil OJK untuk mengklarifikasi skema co-payment yang menimbulkan pertanyaan di masyarakat. Ketua Komisi XI DPR menekankan perlunya penjelasan dari OJK terkait isu yang ramai diperbincangkan ini.

OJK menjelaskan bahwa co-payment berlaku untuk polis baru mulai 1 Januari 2026. Sementara, pemegang polis lama diberi waktu penyesuaian hingga 31 Desember 2026. Kebijakan ini hanya berlaku untuk asuransi kesehatan komersial, tidak mencakup BPJS Kesehatan. OJK berpendapat bahwa co-payment dapat menekan premi asuransi dan telah diterapkan di beberapa negara.

Meski demikian, setelah diskusi panjang, DPR dan OJK sepakat menunda implementasi co-payment sampai Peraturan OJK (POJK) terkait kebijakan tersebut diterbitkan.

2. Penundaan Hingga POJK Terbit

Penundaan ini dilakukan untuk memberi ruang bagi penyusunan POJK yang lebih komprehensif. DPR akan aktif terlibat dalam proses penyusunan POJK untuk memastikan aspirasi berbagai pihak terkait terserap dengan baik.

Ketua Dewan Komisioner OJK menerima kesepakatan ini, menandakan komitmen OJK untuk bekerja sama dengan DPR dalam menyusun regulasi yang optimal.

3. DPR Mengkritik Proses Penyusunan SE

DPR menyoroti kurangnya keterlibatan mereka dalam penyusunan SE co-payment. DPR mempertanyakan mengapa OJK lebih banyak berkonsultasi dengan pihak eksternal seperti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB Universitas Indonesia (UI).

DPR berpendapat, mengingat urgensi kebijakan ini, OJK sebaiknya menerbitkan POJK sebagai landasan hukum yang lebih kuat daripada hanya menerbitkan SE.

Dengan penundaan ini, diharapkan OJK dapat menyusun regulasi yang lebih matang dan mengakomodasi kepentingan seluruh pihak terkait, sehingga kebijakan co-payment dapat diimplementasikan secara efektif dan adil.

Scroll to Top