Washington D.C. – Sebuah perubahan signifikan terjadi di Timur Tengah. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, secara resmi mencabut sanksi yang telah lama diterapkan terhadap Suriah, menandai potensi babak baru dalam hubungan kedua negara. Keputusan ini diumumkan pada Senin (30/6) waktu setempat.
Sebelumnya, Trump telah melonggarkan sebagian besar sanksi pada bulan Mei, sebagai respons atas seruan dari Arab Saudi dan Turki, menyusul berakhirnya kekuasaan setengah abad Presiden Suriah Bashar al-Assad oleh mantan gerilyawan Ahmed al-Sharaa.
Melalui perintah eksekutif, Trump mengakhiri "keadaan darurat nasional" yang telah berlaku sejak 2004, yang memberlakukan sanksi luas terhadap Suriah, termasuk lembaga-lembaga negara utama seperti bank sentral.
Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menyampaikan bahwa langkah ini mencerminkan visi presiden untuk menjalin hubungan baru antara Amerika Serikat dan Suriah yang stabil, bersatu, dan damai, baik secara internal maupun dengan negara-negara tetangga. Rubio juga mengindikasikan akan mempertimbangkan penghapusan Suriah dari daftar negara sponsor terorisme, status yang disandang sejak 1979 yang sangat menghambat investasi.
Selain itu, pemerintah AS juga akan mempertimbangkan untuk menghapus klasifikasi teroris terhadap Sharaa dan gerakan Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang sebelumnya terkait dengan Al-Qaeda. Pemerintah AS bahkan telah menghapus hadiah atas kepala Sharaa setelah ia berkuasa.
Pejabat Departemen Keuangan AS, Brad Smith, menyatakan bahwa tindakan ini akan mengakhiri isolasi Suriah dari sistem keuangan internasional.
Menteri Luar Negeri Suriah, Assad al-Shibani, menyambut baik langkah AS ini sebagai "titik balik besar." Ia menyatakan bahwa pencabutan hambatan utama bagi pemulihan ekonomi ini membuka pintu bagi rekonstruksi dan pembangunan, serta memungkinkan pemulangan warga Suriah yang mengungsi secara bermartabat.
Pada hari yang sama, pemerintah Israel menyatakan ketertarikannya untuk menormalisasi hubungan dengan Suriah dan Lebanon, dalam perluasan apa yang disebut "Perjanjian Abraham," yang berpotensi mengubah lanskap Timur Tengah secara signifikan.