Kenaikan tarif ojek online (ojol) yang diperkirakan mencapai 8 hingga 15 persen memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat Jabodetabek. Beberapa warga mulai mempertimbangkan alternatif transportasi lain, termasuk menggunakan kendaraan pribadi.
Leonardo, seorang karyawan swasta asal Tangerang, mengungkapkan bahwa biaya transportasi saat ini sudah cukup membebani. Ia khawatir kenaikan tarif ojol akan semakin memperparah situasi. "Pemerintah harus sadar, banyak yang akhirnya memilih bawa motor sendiri karena ongkos transportasi makin mahal. Saya pun jadi kepikiran hal yang sama," ujarnya.
Dengan tarif ojol saat ini, Leonardo menghabiskan sekitar Rp 1 juta per bulan hanya untuk transportasi pulang pergi ke kantornya di Jakarta. Jika tarif naik, ia merasa pengeluarannya akan semakin membengkak. Ia juga mengaku kesulitan beralih ke transportasi umum karena lokasi rumah dan kantornya tidak strategis.
Senada dengan Leonardo, Ani, warga Bekasi, juga merasakan dampak yang sama. Setiap hari, ia menggunakan ojol dari stasiun ke kantornya yang berjarak sekitar tujuh kilometer. Kenaikan tarif ojol membuatnya mempertimbangkan untuk menggunakan motor pribadi.
Tina, seorang pekerja dengan gaji sekitar Rp 6 juta per bulan, mengaku bingung mengatur keuangan jika tarif ojol benar-benar naik. Ia biasanya memilih tarif normal untuk membantu pendapatan pengemudi ojol, namun kini ia terpaksa mempertimbangkan untuk menggunakan fitur hemat demi menghemat pengeluaran.
Pemerintah, melalui Kementerian Perhubungan, menyampaikan bahwa kenaikan tarif ojol ini bertujuan untuk menyesuaikan dengan kondisi ekonomi dan memberikan kesejahteraan yang lebih baik bagi pengemudi ojol. Kenaikan tarif akan bervariasi tergantung zona wilayah.
Meskipun demikian, kebijakan ini menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Di satu sisi, kenaikan tarif diharapkan dapat meningkatkan pendapatan pengemudi ojol. Namun, di sisi lain, kenaikan tarif juga berpotensi membebani masyarakat, terutama mereka yang mengandalkan ojol sebagai transportasi sehari-hari.