Tragedi Juliana di Rinjani: Kisah Evakuasi yang Penuh Penyesalan

Kisah pilu menimpa Juliana Mains, pendaki asal Brazil, yang ditemukan meninggal dunia di Gunung Rinjani. Relawan SAR, Agam Rinjani, berbagi cerita tentang proses evakuasi yang penuh tantangan dan penyesalan.

Kejadian nahas ini terjadi pada Sabtu (21/6) sekitar pukul 06.30 WITA. Juliana, bersama rombongannya, mendaki melalui jalur Sembalun. Ketika rekan-rekannya melanjutkan perjalanan ke puncak, Juliana tertinggal. Pemandu yang kembali mencarinya menemukan tanda-tanda keberadaan korban di dasar tebing menuju danau, menandai awal dari upaya pencarian yang sulit.

Agam Rinjani, yang saat kejadian berada di Jakarta, segera berkoordinasi dengan tim SAR. Namun, medan yang ekstrem, kabut tebal, dan potensi longsor menjadi penghalang utama. Pencarian pada hari pertama tidak membuahkan hasil.

Pencarian dilanjutkan keesokan harinya dengan bantuan drone, tetapi cuaca buruk kembali menghambat upaya tersebut. Hingga Senin (23/6), Juliana ditemukan dalam kondisi tidak bergerak di kedalaman sekitar 590 meter dari titik jatuh. Evakuasi baru dapat dilakukan pada Selasa (24/6), ketika seorang rescuer Basarnas memastikan korban telah meninggal dunia.

Proses evakuasi yang melibatkan metode lifting baru terlaksana pada Rabu (25/6). Jenazah Juliana kemudian dibawa ke Posko Sembalun dan dievakuasi via helikopter ke RS Bhayangkara Polda NTB.

Agam Rinjani mengungkapkan penyesalannya atas keterlambatan evakuasi. Ia meyakini bahwa jika peralatan yang memadai, seperti tali evakuasi, tersedia sejak awal, Juliana mungkin bisa diselamatkan. Ia juga menyayangkan kurangnya inisiatif untuk memberikan bantuan awal, seperti air minum atau selimut, yang dapat membantu korban bertahan.

Agam juga mengklarifikasi bahwa lokasi jatuhnya Juliana berbeda dengan lokasi jatuhnya pendaki asal Irlandia sebelumnya. Titik jatuhnya Juliana berada di bawah cemara tunggal, berbeda dengan lokasi pendaki Irlandia yang lebih tinggi.

Salah satu kendala utama dalam proses evakuasi adalah ketiadaan shelter emergency di atas gunung yang menyimpan peralatan rescue. Agam menyoroti bahwa rasa kepemilikan yang tinggi terhadap peralatan rescue di kalangan masyarakat setempat juga menjadi faktor penghambat.

Agam menekankan pentingnya sistem evakuasi yang cepat dan efisien, termasuk opsi penggunaan helikopter. Ia berharap pemerintah dapat mempertimbangkan penyediaan helikopter untuk mempercepat proses penyelamatan di masa depan.

Ironisnya, saat insiden terjadi, Agam dan tim Rinjani Squad sedang mempersiapkan pelatihan rescue yang seharusnya berlangsung pada Kamis, 26 Juni. Pelatihan tersebut akhirnya berubah menjadi praktik evakuasi nyata.

Agam mengaku sangat terpukul atas kematian Juliana dan merasa bersalah karena tidak berada di lokasi saat kejadian. Ia meyakini bahwa jika ia berada di sana, ia bisa melakukan lebih banyak upaya untuk menyelamatkan Juliana, seperti mengawal proses pemantauan, menyediakan makanan dan perlengkapan, atau meminta bantuan dari komunitas pendaki lainnya.

Hasil autopsi RS Bali Mandara mengungkapkan bahwa penyebab kematian Juliana adalah luka akibat benturan keras. Juliana diperkirakan meninggal dunia 20 menit setelah terjatuh.

Scroll to Top