Senat Amerika Serikat baru saja mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) pajak dan belanja yang diusulkan oleh mantan Presiden Donald Trump dengan perbedaan suara yang sangat tipis. Keputusan ini membuka babak baru dalam kebijakan fiskal dan sosial negara.
RUU tersebut menjanjikan perubahan signifikan, termasuk pemotongan anggaran untuk program kesejahteraan sosial, perpanjangan keringanan pajak, peningkatan belanja militer dan imigrasi. Namun, di balik janji tersebut, tersembunyi potensi penambahan utang negara hingga mencapai US$3,3 triliun atau setara dengan Rp53.000 triliun.
Pengesahan RUU ini berlangsung dramatis di Senat, dengan perolehan suara 51-50. Wakil Presiden JD Vance menggunakan hak suara pemecah kebuntuan untuk meloloskan RUU ini. Tiga senator dari Partai Republik memilih berseberangan dan bergabung dengan seluruh senator Demokrat dalam menolak RUU tersebut.
Setelah berhasil melewati Senat, RUU ini kini berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapatkan persetujuan akhir. Namun, tantangan tidak berhenti di sini. Beberapa anggota DPR dari Partai Republik telah menyuarakan ketidaksetujuan terhadap beberapa poin penting dalam RUU versi Senat.
Mantan Presiden Trump, yang sangat mendukung RUU ini, mengungkapkan keinginannya agar RUU ini dapat disahkan menjadi undang-undang sebelum perayaan Hari Kemerdekaan AS pada tanggal 4 Juli. Ketua DPR Mike Johnson menyatakan komitmennya untuk mengejar target waktu tersebut.
Trump meyakini bahwa RUU ini akan memberikan manfaat bagi semua pihak dan akan berjalan mulus di DPR. RUU ini akan memperpanjang pemotongan pajak yang telah berlaku sejak tahun 2017, memberikan insentif pajak baru untuk pendapatan dari tip dan lembur, serta meningkatkan anggaran untuk sektor militer dan penegakan imigrasi.
Namun, RUU ini juga membawa konsekuensi yang tidak ringan, termasuk pemangkasan anggaran sekitar US$930 miliar dari anggaran Medicaid dan program bantuan makanan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, RUU ini juga mencabut sebagian besar insentif energi hijau yang merupakan warisan dari pemerintahan sebelumnya.
RUU tersebut juga mengusulkan kenaikan batas utang pemerintah federal sebesar US$5 triliun, sebuah langkah yang dianggap krusial untuk menghindari gagal bayar. Namun, langkah ini juga menimbulkan kekhawatiran mengenai arah kebijakan fiskal jangka panjang Amerika Serikat.
Kantor Anggaran Kongres (CBO) memperkirakan bahwa RUU versi Senat ini akan menambah utang negara sekitar US$800 miliar lebih banyak dibandingkan dengan versi RUU yang sebelumnya disahkan di DPR.
Salah satu momen krusial dalam pengesahan RUU ini adalah ketika Senator Lisa Murkowski menyatakan penolakannya jika tidak ada perubahan signifikan. Untuk mengamankan suaranya, RUU versi final memasukkan dua ketentuan khusus: tambahan dana bantuan pangan untuk Alaska dan negara bagian lain, serta alokasi US$50 miliar untuk membantu rumah sakit pedesaan menghadapi dampak pemotongan Medicaid.
Murkowski mengakui bahwa proses pengesahan RUU ini sangat buruk dan tergesa-gesa. Ia menekankan bahwa RUU ini masih memerlukan banyak perbaikan dan belum siap untuk disahkan menjadi undang-undang.
Kelompok konservatif garis keras seperti House Freedom Caucus tetap menentang biaya besar yang terkandung dalam RUU ini. Mereka menyoroti beban utang dan pemangkasan Medicaid sebagai isu utama yang menjadi perhatian.
Sementara itu, anggota DPR dari negara bagian dengan pajak tinggi seperti New York, New Jersey, dan California juga mengancam untuk menarik dukungan kecuali ketentuan pemotongan pajak lokal (SALT) diperbesar.