Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, menghadapi masa sulit setelah Mahkamah Konstitusi Thailand menangguhkan sementara jabatannya. Hal ini dipicu oleh kontroversi percakapan teleponnya dengan mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen.
Rekaman percakapan yang bocor ke publik mengungkap Paetongtarn menyapa Hun Sen dengan panggilan "Paman" dan menyampaikan kritik terhadap seorang komandan militer Thailand. Kebocoran ini langsung memicu amarah publik dan gelombang petisi yang menuntut agar dirinya dicopot dari jabatannya.
Mahkamah Konstitusi kini tengah mempertimbangkan permohonan pemecatan Paetongtarn. Perempuan berusia 37 tahun ini adalah perdana menteri perempuan kedua di Thailand dan berasal dari keluarga politik yang sangat berpengaruh. Ayahnya, Thaksin Shinawatra, seorang mantan perdana menteri dan konglomerat, digulingkan dalam kudeta militer tahun 2006. Setelah hidup di pengasingan selama lebih dari 15 tahun, Thaksin kembali ke Thailand tahun lalu.
Paetongtarn, yang akrab disapa "Ing," adalah anak bungsu Thaksin. Ia tumbuh menyaksikan dinamika politik yang penuh gejolak dalam keluarganya. Di usia 8 tahun, ia menemani ayahnya saat menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Pada usia 20 tahun, ia harus bersembunyi di tempat aman ketika militer melancarkan kudeta untuk menggulingkan pemerintahan ayahnya. Dua tahun kemudian, ia menyaksikan ayahnya meninggalkan Thailand untuk menghindari hukuman atas kasus korupsi.
Kiprah politik Paetongtarn dimulai pada tahun 2021, ketika ia bergabung dengan Partai Pheu Thai sebagai direktur komite inovasi dan inklusi. Dua tahun kemudian, ia memimpin kampanye partai dalam pemilihan umum dan maju sebagai salah satu kandidat perdana menteri. Ia berjanji untuk mengakhiri dominasi pemerintahan yang didukung oleh militer di bawah kepemimpinan mantan Jenderal Prayuth Chan-ocha. Paetongtarn juga bertekad untuk memutus siklus kudeta yang telah lama menghantui keluarganya.
Namun, ironisnya, pemerintahan yang ia pimpin justru terbentuk melalui koalisi dengan kelompok konservatif pro-monarki, yang selama ini dianggap sebagai lawan politik utama keluarganya.
Thaksin sendiri dilaporkan telah mencapai kesepakatan politik tahun lalu yang memungkinkannya untuk kembali ke Thailand, meskipun masih menghadapi tuduhan korupsi.
Saat ini, Paetongtarn menghadapi tekanan publik dan ancaman pencopotan akibat skandal telepon, yang menguji legitimasi dan stabilitas kepemimpinannya sebagai perdana menteri.