MK Tolak Gugatan UU Polri Soal Kewenangan Diskresi Kepolisian

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terkait pasal yang mengatur kewenangan aparat kepolisian untuk bertindak berdasarkan penilaian sendiri. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri).

Dalam putusannya, MK menolak seluruh permohonan yang diajukan oleh para pemohon. Para pemohon mempersoalkan frasa "kepentingan umum" dan "menurut penilaiannya sendiri" yang dianggap berpotensi menimbulkan interpretasi subjektif oleh aparat kepolisian.

Pasal 18 ayat (1) UU Polri berbunyi: "Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri."

Para pemohon berpendapat, tidak adanya definisi yang jelas mengenai "kepentingan umum" dalam UU Polri dapat disalahartikan. Selain itu, frasa "menurut penilaiannya sendiri" dinilai rawan subjektivitas, multitafsir, dan kurangnya kontrol, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan tidak adil.

MK menjelaskan bahwa Pasal 18 ayat (1) UU Polri tidak terlepas dari kewenangan kepolisian dalam memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam menjalankan tugas, polisi seringkali menghadapi situasi yang kompleks. Frasa "kepentingan umum" dan "penilaiannya sendiri" diperlukan untuk mengantisipasi kompleksitas tersebut.

Menurut MK, hal tersebut merupakan diskresi aparat kepolisian dalam bertugas, yang menjadi dasar penggunaan wewenang kepolisian dalam mencegah tindak pidana. Penjelasan mengenai frasa "penilaiannya sendiri" dan "kepentingan umum" telah tercantum dalam Penjelasan Pasal 18 ayat (1) dan Ketentuan Umum angka 7 UU Polri.

Pasal 18 ayat (2) juga memberikan batasan, yaitu tindakan berdasarkan "kepentingan umum" dan "penilaiannya sendiri" hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu, dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi Polri.

Lebih lanjut, MK menjelaskan bahwa penerapan diskresi juga dibatasi oleh lima persyaratan yang tercantum dalam Pasal 16 ayat (2) UU Polri, antara lain tidak bertentangan dengan hukum, selaras dengan kewajiban hukum, patut, masuk akal, termasuk dalam lingkungan jabatan, pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa, serta menghormati hak asasi manusia.

MK berpendapat bahwa frasa "kepentingan umum" dan "penilaiannya sendiri" masih diperlukan sebagai tindakan diskresi yang dibutuhkan dalam rangka melaksanakan perlindungan, pengayoman, pelayanan kepada masyarakat, serta penegakan hukum. Dengan demikian, dalil para pemohon dinilai tidak beralasan menurut hukum.

Selain perkara ini, MK juga menolak dua perkara pengujian UU Polri lainnya, yaitu Nomor 76/PUU-XXIII/2025 dan 78/PUU-XXIII/2025. Pada perkara nomor 76, pemohon mempersoalkan Pasal 16 ayat (1) huruf l dan ayat (2) huruf c UU Polri karena dinilai berpotensi menimbulkan kriminalisasi. Namun, MK menilai pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Sementara itu, pada perkara nomor 78, MK menilai permohonan tidak jelas atau kabur (obscuur).

Scroll to Top