Thailand, negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia di Laut Andaman dan Selat Malaka, dikenal sebagai negara dengan sejarah kudeta yang panjang. Tercatat, Negeri Gajah Putih ini telah mengalami hingga 14 kali kudeta sepanjang sejarahnya.
Peristiwa politik di Thailand kembali menjadi sorotan setelah Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra dinonaktifkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait skandal telepon. Hal ini memicu rencana rapat para pemimpin partai oposisi untuk membahas potensi mosi tidak percaya.
Kudeta seolah menjadi bagian dari dinamika politik Thailand. Menurut para ahli, perebutan kekuasaan ini mencerminkan perseteruan antara kelompok pro-demokrasi dan pro-kerajaan, dengan peran militer yang tak terhindarkan.
Sejak 1932, Thailand menganut monarki konstitusional. Monarki memegang posisi sentral dalam politik Thailand, terutama saat terjadi krisis atau kerusuhan sipil. Almarhum Raja Rama 9 seringkali berperan sebagai penengah dalam konflik. Militer juga memiliki hubungan erat dengan monarki.
Beberapa contoh kudeta di Thailand termasuk peristiwa tahun 1991 saat Perdana Menteri Chatichai Choonhavan ditangkap militer, kudeta 19 September 2006 yang menggulingkan Thaksin Shinawatra, dan kudeta 22 Mei 2014 yang melengserkan Yingluck Sinawatra.
Meski sering terjadi pergantian kekuasaan, sebagian besar kudeta di Thailand berlangsung tanpa pertumpahan darah. Penghormatan kepada raja tetap menjadi simbol pemersatu bangsa.