Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, telah menandatangani undang-undang yang menghentikan sementara kerjasama dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). Langkah ini diambil menyusul meningkatnya ketegangan antara Teheran dan badan pengawas nuklir PBB, terutama setelah dugaan serangan Israel dan AS terhadap fasilitas nuklir Iran bulan lalu.
Keputusan ini diumumkan setelah parlemen Iran menyetujui resolusi untuk menangguhkan kerjasama dengan IAEA, dengan alasan serangan mendadak Israel pada 13 Juni dan serangan lanjutan oleh AS terhadap fasilitas nuklir Iran pada 22 Juni.
Sesuai dengan resolusi parlemen, inspektur IAEA tidak akan lagi diizinkan untuk mengunjungi lokasi nuklir tanpa persetujuan dari Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, melalui juru bicaranya, menyatakan kekhawatiran atas keputusan Iran ini. PBB secara konsisten menyerukan kepada Iran dan semua negara untuk bekerjasama erat dengan IAEA dalam isu-isu nuklir.
Menanggapi pemberlakuan penangguhan ini, Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, mendesak negara-negara Eropa penandatangan perjanjian nuklir 2015 untuk mengaktifkan mekanisme "snapback" dan memberlakukan kembali semua sanksi PBB terhadap Iran.
Mekanisme snapback, yang dijadwalkan berakhir pada Oktober, adalah bagian dari perjanjian nuklir yang runtuh setelah Amerika Serikat menarik diri pada tahun 2018. Iran kemudian mulai mengurangi komitmennya setahun kemudian.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tammy Bruce, menyatakan bahwa penangguhan ini "tidak dapat diterima" dan mendesak Teheran untuk bekerja sama sepenuhnya dengan pengawas PBB tanpa penundaan lebih lanjut. AS menegaskan kembali posisinya bahwa Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir.
Jerman juga mengkritik keputusan Iran, menyebutnya sebagai "sinyal bencana". Pemerintah Jerman menekankan pentingnya kerjasama Iran dengan IAEA untuk mencapai solusi diplomatik.
IAEA sendiri menyatakan bahwa mereka sedang menunggu informasi resmi lebih lanjut dari Iran terkait keputusan ini.