Polemik Sejarah Kelam 1998 Kembali Mencuat: Antara Penyangkalan dan Luka Korban

Peristiwa kelam pemerkosaan massal yang terjadi saat kerusuhan Reformasi 1998 kembali menjadi sorotan tajam. Pemicunya adalah proyek penulisan ulang sejarah yang digagas pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan.

Kontroversi ini bermula saat Menteri Kebudayaan mengutarakan pernyataan yang meragukan adanya bukti kekerasan terhadap perempuan, khususnya pemerkosaan massal, selama peristiwa 1998. Pernyataan ini menuai kritik pedas, terutama dari kalangan anggota dewan yang memiliki latar belakang sejarah dan isu perempuan.

Meskipun sang menteri mengklaim mengakui terjadinya kekerasan seksual, ia mempersempit masalah dengan mempersoalkan penggunaan kata ‘massal’. Ia membantah berniat mereduksi atau menghilangkan fakta sejarah.

Namun, bantahan ini ditolak oleh sejumlah anggota dewan dari Fraksi PDIP. Bahkan, fraksi tersebut mendesak agar proyek penulisan sejarah ini dihentikan. Seorang anggota dewan dari Fraksi PDIP, yang juga seorang sejarawan, khawatir proyek ini menjadi bentuk penyangkalan negara terhadap pelanggaran hak asasi manusia.

Menurutnya, ada tiga bentuk penyangkalan yang mungkin terjadi: pengingkaran langsung, penafsiran ulang yang mereduksi dampak, dan penerimaan peristiwa tanpa tanggung jawab. Ia khawatir pernyataan menteri tersebut mengarah pada penafsiran ulang yang menggeser perdebatan menjadi sekadar masalah semantik, alih-alih fokus pada substansi persoalan itu sendiri.

Direktur Eksekutif sebuah organisasi hak asasi manusia menyebutkan dua alasan mengapa elite terkesan enggan mengakui sejarah pemerkosaan massal 1998. Pertama, kekhawatiran bahwa pengungkapan tuntas kasus ini akan menyeret orang-orang yang terlibat dalam pemerintahan saat ini. Kedua, masih melekatnya rasialisme sistemik terhadap etnis Tionghoa. Retorika anti-asing dan anti-aseng kerap digunakan untuk menyalahkan mereka dan menutupi kegagalan negara dalam mewujudkan keadilan sosial.

Aktivis HAM sekaligus pendiri sebuah yayasan hukum menyatakan keprihatinannya terhadap sikap pemerintah. Ia menekankan bahwa ingatan korban dan masyarakat luas terhadap peristiwa tersebut sudah sangat lama dan mendalam. Ia mempertanyakan mengapa pemerintah baru justru ‘sibuk’ mengoreksi sejarah atau diksi yang sudah melekat sebagai ingatan publik. Luka dan duka ini sudah berlangsung hampir tiga dekade, dan ingatan tersebut menjadi penanda yang tak terlupakan.

Scroll to Top