Zohran Mamdani, Calon Walikota New York Kontroversial Akibat Dukungan "Intifada"

Zohran Mamdani, seorang politisi Muslim yang mencalonkan diri sebagai walikota New York City, tengah menjadi pusat perhatian media Amerika Serikat. Hal ini dipicu oleh penolakannya untuk mengutuk slogan "Globalize the Intifada," sebuah seruan yang berkaitan erat dengan perlawanan Palestina terhadap pendudukan Israel. Ia berargumen bahwa slogan tersebut merupakan ekspresi hak asasi warga Palestina.

Mamdani, yang berasal dari Partai Demokrat, akan bertarung dalam pemilihan walikota November 2025. Dikenal sebagai aktivis progresif, ia menyuarakan berbagai agenda seperti pembatasan kepemilikan properti, akses kesehatan universal, dan hak imigran.

Namun, yang paling mencuri perhatian adalah posisinya terhadap "Globalize the Intifada." Slogan ini, yang muncul sejak 2021 di berbagai aksi pro-Palestina di kampus-kampus Amerika, dianggap oleh sebagian orang sebagai semangat perlawanan terhadap penindasan, khususnya yang dialami rakyat Palestina.

Di sisi lain, banyak warga Yahudi Amerika mengaitkan istilah "intifada" dengan trauma kekerasan brutal yang terjadi di Israel dan Palestina pada masa Intifada Pertama (1987–1993) dan Intifada Kedua (2000–2005). Gelombang kekerasan tersebut melibatkan bom bunuh diri, serangan bersenjata terhadap warga sipil Israel, serta pembalasan militer yang merenggut banyak nyawa di Palestina.

Saat diwawancarai, Mamdani menolak untuk secara tegas mengutuk slogan tersebut. Ia menyatakan bahwa meskipun tidak menggunakan frasa itu secara pribadi, ia tidak melihatnya sebagai ajakan untuk melakukan kekerasan. Baginya, slogan tersebut adalah simbol perlawanan terhadap pelanggaran hak asasi manusia, bukan pembenaran untuk kekerasan terhadap warga sipil.

Pernyataan ini memicu reaksi keras, terutama dari komunitas Yahudi Amerika. Pihak Anti-Defamation League (ADL) menyebut slogan itu sebagai "seruan eksplisit untuk kekerasan" dan "perayaan terorisme." Bahkan, Museum Holocaust Amerika Serikat mengkritik analogi yang dibuat Mamdani antara intifada Palestina dan pemberontakan Ghetto Warsawa tahun 1943.

Namun, para aktivis hak asasi dan pendukung Palestina memuji Mamdani atas keberaniannya. Mereka menganggapnya sebagai salah satu dari sedikit politisi AS yang berani menantang narasi mainstream tentang konflik Israel-Palestina. Ia dianggap konsisten dalam membela kaum tertindas, meskipun berisiko secara politis.

Polemik ini menunjukkan bagaimana satu kata dapat memicu badai politik ketika diinterpretasikan dari sudut pandang sejarah yang berbeda. Intifada dapat dimaknai sebagai simbol perjuangan melawan penindasan kolonial, atau sebagai representasi kekerasan terhadap warga sipil.

Akibat kontroversi ini, dukungan terhadap Mamdani di kalangan pemilih Yahudi di New York City dilaporkan menurun tajam. Namun, ia juga mendapatkan dukungan yang kuat dari pemilih muda, imigran, dan komunitas Muslim, yang menganggapnya sebagai perwakilan dari suara-suara yang selama ini terpinggirkan dalam politik Amerika.

Scroll to Top