Perang tarif yang dilancarkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, bukanlah fenomena baru. Kebijakan ini, yang pertama kali diterapkan pada tahun 2018, kini meluas dan menyasar tidak hanya China, tetapi juga sekutu-sekutu tradisional AS. Lantas, apa sebenarnya motif di balik langkah kontroversial ini?
Ambisi Hegemoni dan Teori Neorealisme
Sebelum kebijakan ini menjadi sorotan global, gagasan mengenai persaingan abadi antara AS dan China telah diutarakan. Konflik ini dianggap sebagai takdir yang tak terhindarkan seiring dengan semakin kuatnya China. Perang tarif, dalam konteks ini, dipandang sebagai upaya AS untuk membendung laju kebangkitan ekonomi China yang dianggap mengancam posisi hegemoninya.
Strategi "containment" atau "penahanan" ini sejalan dengan pandangan neorealisme dalam teori hubungan internasional. Neorealisme meyakini bahwa negara-negara besar akan selalu berlomba untuk menjadi yang terkuat dan berupaya untuk melemahkan pesaingnya.
Negara-negara besar akan terus berupaya meningkatkan kekuatan relatifnya. AS dan China saling mengawasi kekuatan masing-masing, karena mempertimbangkan kekuatan musuh sangat penting untuk strategi bertahan hidup di tengah dunia yang anarki.
Anarki Global dan Persaingan Kekuatan
Dalam sistem global yang anarki, di mana tidak ada otoritas tertinggi yang mengatur hubungan antarnegara, setiap negara harus mengandalkan dirinya sendiri. Akibatnya, negara-negara berlomba untuk menjadi yang terkuat, meningkatkan kekuatan militer sebagai fungsi pertahanan.
Terdapat perbedaan pandangan mengenai ambang batas ideal kekuatan yang harus dimiliki negara. Beberapa berpendapat bahwa kekuatan harus moderat, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pertahanan dan keamanan. Sementara yang lain meyakini bahwa negara harus berupaya mencapai kekuatan absolut untuk meniadakan pesaing.
Namun, terlepas dari perbedaan ini, ada kesepakatan bahwa tidak ada satu pun aktor yang bisa dipercaya atas niat baiknya di masa depan. Setiap negara akan mengejar aspirasinya sesuai kepentingan nasional sendiri-sendiri.
Perang Tarif Sebagai Strategi Menahan China
Kebangkitan ekonomi China adalah fakta yang tak terbantahkan. Perang tarif adalah salah satu upaya AS untuk menghambat kebangkitan tersebut, selain upaya-upaya lain seperti melawan dominasi China di Laut China Selatan, menangkal aspirasi China menganeksasi Taiwan, dan melarang Huawei beroperasi di wilayah AS.
Dengan memperlambat kebangkitan ekonomi China, AS berharap dapat mempertahankan status hegemoninya. Jika jarak ekonomi antara kedua negara dapat diperlebar, AS berpeluang mempertahankan posisinya sebagai kekuatan tunggal.
Peningkatan ekonomi China juga memicu transformasi kekuatan militernya. Kekuatan ekonomi adalah rute awal menuju revitalisasi kekuatan militer.
Motif Lain: Mendekati Rusia dan Menguji Loyalitas
Selain mereduksi kekuatan ekonomi China, perang tarif juga dilatarbelakangi harapan untuk mendekati Rusia. Dengan menargetkan negara-negara Uni Eropa, yang merupakan musuh Rusia dalam konflik Ukraina, AS berusaha menunjukkan niatnya untuk berkoalisi dengan Rusia dalam membendung kebangkitan China.
Perang tarif juga dianggap lebih murah dan logis daripada perang konvensional atau proksi. Perang konvensional dan proksi memakan biaya besar, dan perang terbuka berisiko memicu perang nuklir.
Selain itu, perang tarif lebih sesuai dengan gaya diplomasi China yang fokus pada bidang ekonomi. China adalah aktor ekonomi terpenting abad ini, dan cara paling efektif melemahkan laju pertumbuhannya adalah melalui invasi ekonomi.
Perang tarif juga dapat dilihat sebagai langkah untuk menguji loyalitas sekutu-sekutu AS. Negara-negara yang menentang tarif dipandang sebagai potensi sekutu China, sementara yang bergeming dianggap berpotensi menjadi sekutu AS. Melibatkan negara-negara kecil dan sekutu setia dalam perang tarif dapat dibaca sebagai strategi preemptive AS untuk membaca struktur kekuatan dan mengukur derajat kesetiaan aliansi di tengah pengaruh ekonomi China yang meluas.