Resistensi antibiotika (AMR) menjadi masalah global yang semakin mengkhawatirkan, terutama bagi kesehatan anak-anak. Laporan menunjukkan peningkatan kasus infeksi yang resisten terhadap antibiotika, dengan anak-anak di Afrika dan Asia Tenggara menjadi kelompok yang paling rentan. Peningkatan penggunaan antibiotika yang tidak terkontrol, terutama selama pandemi COVID-19, mempercepat laju resistensi ini.
AMR terjadi ketika mikroorganisme penyebab infeksi bermutasi sehingga antibiotika tidak lagi efektif dalam mengobati penyakit. Penggunaan antibiotika yang berlebihan dan tidak tepat menjadi faktor utama pendorong resistensi ini.
Namun, sumber resistensi antibiotika tidak hanya berasal dari konsumsi langsung. Polusi farmasi dari proses produksi, limbah rumah sakit, limbah pertanian, dan pembuangan obat yang tidak benar juga berkontribusi signifikan. Polusi ini memicu pembentukan gen resisten yang dapat menyebar luas.
Penelitian di Indonesia menunjukkan adanya pencemaran antibiotika di sungai, seperti Sungai Code di Yogyakarta. Pencemaran ini berasal dari aktivitas pertanian, perikanan, dan limbah rumah sakit. Kondisi ini menimbulkan risiko kontaminasi AMR pada manusia, bahkan bagi mereka yang berhati-hati dalam mengonsumsi antibiotika.
Ancaman AMR ini berpotensi membuat penyakit yang sebelumnya mudah diobati, seperti TBC, menjadi lebih sulit diatasi. Bahkan, wabah penyakit di masa lalu yang telah terkendali dapat kembali menjadi ancaman serius.
Generasi mendatang, khususnya anak-anak, menjadi kelompok yang paling berisiko. Selain polusi sampah organik dan anorganik, mereka juga terancam oleh sampah farmasi yang mencemari lingkungan.
Perlu tindakan dan kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah AMR ini. Jika tidak, konsekuensi yang ditimbulkan akan sangat besar bagi kesehatan anak-anak di masa depan.