Putusan MK Soal Pemilu Jadi Sorotan, DPR Merasa Dirugikan?

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pilkada menuai reaksi dari sejumlah anggota DPR. Sorotan ini memicu spekulasi bahwa para legislator merasa dirugikan oleh keputusan tersebut.

Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, mengamati adanya kekesalan dari sebagian politisi Senayan terhadap MK. Menurutnya, MK dinilai terlalu "powerful" dalam melakukan judicial review terhadap berbagai undang-undang. Adi melihat wajar jika putusan MK kerap dianggap melampaui kewenangan, bahkan inkonstitusional. Ia menambahkan, ada kesan kecemburuan dari DPR terhadap MK karena UU yang mereka buat seringkali dianulir oleh lembaga tersebut.

Lebih lanjut, Adi menilai putusan MK terkait pemilu dianggap rumit dan merugikan para anggota dewan. Kerumitan ini muncul karena banyaknya UU yang terdampak dan perlu direvisi, seperti UU Pemilu, UU Pilkada, UU MD3, dan UU Pemerintahan Daerah. Belum selesai dengan revisi akibat putusan MK terkait penghapusan ambang batas pencalonan presiden, kini muncul putusan baru yang menuntut revisi berbagai UU.

Adi juga menyoroti sikap tebang pilih DPR dalam menyikapi putusan MK. Ia mencontohkan, putusan MK nomor 90 terkait syarat minimal usia calon presiden yang dinilai melanggar etika konstitusi tidak mendapat reaksi keras. Namun, ketika pemilu nasional dan daerah dipisah, barulah muncul protes yang seolah-olah "kiamat".

Wakil Ketua Komisi VI DPR, Nurdin Halid, termasuk yang menyoroti putusan MK tersebut. Ia berpendapat MK telah melampaui kewenangannya dan menjadi pembentuk norma baru selain DPR dan pemerintah. Nurdin menegaskan bahwa kewenangan MK dalam UUD 1945 terbatas pada menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.

Nurdin menilai putusan MK ini bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22E ayat 1 juncto ayat 2, yang menyatakan pemilu dilaksanakan lima tahun sekali, termasuk pemilihan DPRD. Ia menyimpulkan bahwa keputusan MK tersebut cacat secara konstitusional dan menimbulkan ketidakpastian terhadap demokrasi, sistem tata negara, perencanaan pembangunan, sistem pemerintahan daerah, tata kelola pemilu, keuangan negara, serta membingungkan publik dan masyarakat.

Scroll to Top