Krisis HIV di Filipina: Lonjakan Kasus Mencemaskan dan Pergeseran Usia yang Mengkhawatirkan

Filipina sedang menghadapi tantangan besar dalam kesehatan masyarakat. Jumlah kasus infeksi HIV di negara ini melonjak drastis dalam satu dekade terakhir, dengan kenaikan mencapai 543% sejak tahun 2010. Lonjakan ini menempatkan Filipina sebagai negara dengan pertumbuhan kasus HIV tercepat di kawasan Asia-Pasifik.

Berbanding terbalik dengan negara-negara tetangga yang berhasil menekan angka penularan, seperti Bangladesh yang mencatat kenaikan 20% dan Papua Nugini 104%, Filipina justru mengalami peningkatan kasus lebih dari lima kali lipat.

Hingga Maret 2025, lebih dari 139.610 warga Filipina hidup dengan HIV, dan pemerintah memprediksi angka ini bisa melonjak hingga 252 ribu di akhir tahun.

Salah satu aspek yang paling mengkhawatirkan adalah pergeseran usia pasien HIV. Jika dulu kasus baru banyak ditemukan pada usia 25 hingga 34 tahun, kini hampir separuhnya terjadi pada rentang usia 15 hingga 24 tahun. Bahkan, tahun ini, seorang anak berusia 12 tahun di Palawan menjadi pasien HIV termuda yang tercatat, diduga kuat akibat kekerasan seksual dan eksploitasi anak.

Faktor-faktor yang berkontribusi pada krisis ini antara lain:

  • Akses mudah ke pornografi: Remaja Filipina memiliki akses mudah ke konten pornografi, namun kurang mendapatkan pendidikan seks yang memadai, sehingga rentan melakukan hubungan seksual tanpa pengaman dan tidak menyadari risiko penularan HIV.
  • Praktik prostitusi dan pesta seks: Maraknya praktik prostitusi, termasuk yang melibatkan narkoba, semakin memperburuk situasi.
  • Kurangnya pendidikan seks: Meskipun pendidikan seks telah dimasukkan dalam kurikulum sejak 2017, implementasinya masih minim akibat tekanan dari kelompok agama konservatif.
  • Stigma sosial: Stigma terkait HIV membuat banyak orang enggan melakukan tes atau mencari pengobatan karena takut dikucilkan.

Filipina telah mengesahkan Undang-Undang HIV dan Aids pada tahun 2018, yang menurunkan usia legal untuk tes HIV menjadi 15 tahun. Meskipun layanan tes dan pengobatan semakin mudah diakses, banyak remaja enggan berobat karena takut ketahuan oleh orang tua. Akibatnya, mereka baru mencari pertolongan saat kondisi HIV sudah lanjut atau berkembang menjadi AIDS.

Selain itu, tingkat tes HIV di populasi berisiko seperti laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki masih rendah. Hanya sebagian kecil yang menjalani tes, dan dari yang terdeteksi positif, hanya sebagian kecil yang menjalani terapi ARV.

Penting bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya tes rutin dan penggunaan PrEP (Pre-Exposure Prophylaxis), obat yang dapat mencegah infeksi HIV jika dikonsumsi sebelum terpapar. Abstinensia tetap menjadi pilihan terbaik bagi kaum muda, namun jika tidak memungkinkan, penggunaan pengaman atau mengetahui status pasangan sangatlah penting.

Pendidikan seks yang komprehensif terbukti dapat membuat remaja lebih bijak dalam mengambil keputusan terkait seksualitas, mengenali manipulasi atau pelecehan, dan bahkan menunda hubungan seksual. Dengan mengatasi stigma dan meningkatkan pendidikan seks, Filipina dapat menekan laju penularan HIV dan melindungi generasi muda dari ancaman penyakit ini.

Scroll to Top