Korban Perkosaan Dokter di Bandung Berhak Menggugurkan Kandungan, Komnas Perempuan Desak Zona Bebas Kekerasan di RS

JAKARTA – Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan bahwa korban pemerkosaan oleh dokter anestesi Priguna Anugerah, berhak melakukan aborsi jika hamil. Hal ini didasarkan pada Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.

Komisioner Komnas Perempuan, Chatarina Pancer, menjelaskan bahwa Pasal 75 ayat 2 UU Kesehatan tersebut memberikan pengecualian larangan aborsi bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis, dengan usia kehamilan di bawah 14 minggu.

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi lebih lanjut mengatur batasan waktu aborsi akibat perkosaan, yakni maksimal 40 hari sejak hari pertama haid terakhir.

Menyikapi kasus ini, Komnas Perempuan mendesak Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk menetapkan kebijakan "Zona Tanpa Toleransi" terhadap kekerasan di seluruh fasilitas layanan kesehatan di Indonesia. Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) juga didorong untuk mengambil langkah konkret mencegah dan menangani kekerasan seksual, agar kejadian serupa tidak terulang.

Komnas Perempuan menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap jaminan ruang aman di rumah sakit dan fasilitas kesehatan. Rumah sakit harus menjadi tempat yang bebas dari kekerasan bagi tenaga kesehatan, pasien, dan keluarganya.

Kasus ini terungkap setelah Priguna Anugerah, seorang dokter anestesi yang bertugas di RSHS Bandung, melakukan pemerkosaan terhadap keluarga pasien pada pertengahan Maret 2025. Pelaku yang sedang menjalani pendidikan spesialis menggunakan modus pemeriksaan darah (crossmatch) untuk melancarkan aksinya. Korban diperkosa dalam keadaan tidak sadar dan melaporkan kejadian ini ke polisi. Polisi telah menangkap dan menahan pelaku. Setelah kasus ini mencuat, dua korban lain juga melapor mengalami kejadian serupa.

Scroll to Top