Tarif Impor AS Mengancam, Ini Daftar Emiten yang Berpotensi Terdampak!

Negosiasi intensif selama 90 hari antara Indonesia dan Amerika Serikat terkait tarif impor resiprokal, sayangnya, belum membuahkan hasil. Tarif tetap bertengger di angka 32%, memicu kekhawatiran di kalangan pelaku pasar.

Meski demikian, Presiden AS memberikan kelonggaran waktu hingga 1 Agustus 2025 sebelum tarif tersebut benar-benar diberlakukan. Hal ini menimbulkan sedikit optimisme bahwa masih ada peluang bagi Indonesia untuk bernegosiasi.

Namun, pemerintah Indonesia perlu segera menyiapkan langkah mitigasi serius. Tarif 32% ini jauh lebih tinggi dibandingkan tarif yang dikenakan AS kepada negara-negara ASEAN lainnya, seperti Filipina (17%), Vietnam (20%), dan Malaysia serta Korea Selatan (25%). Walaupun masih lebih rendah dibanding Thailand (36%), Kamboja (36%), Myanmar (40%), serta Bangladesh (35%).

Dampak dari tarif ini tidak main-main. Ekonom memperingatkan bahwa ekspor Indonesia, pertumbuhan ekonomi, hingga nilai tukar rupiah berpotensi tertekan. Daya saing produk Indonesia di pasar AS, yang menyumbang 9-10% dari total ekspor, bisa melemah. Sektor-sektor unggulan seperti tekstil, alas kaki, perikanan, furnitur, dan komoditas manufaktur lainnya akan menghadapi tantangan berat. Akibatnya, defisit neraca transaksi berjalan Indonesia diperkirakan akan melebar hingga 0,87% dari PDB pada tahun 2025.

Lantas, emiten mana saja yang paling berpotensi terkena dampak dari kebijakan tarif ini? Berikut daftarnya:

1. WOOD

PT Integra Indocabinet Tbk (WOOD), perusahaan furnitur kayu, menjadi salah satu yang paling terpukul. Penjualan ekspor WOOD ke AS mencapai Rp2,52 triliun, atau 90,27% dari total penjualan yang sebesar Rp2,79 triliun. Kenaikan tarif akan meningkatkan beban perusahaan secara signifikan, sementara beban pokok pendapatan tahun lalu sudah melonjak 38%.

2. PMMP

PT Panca Mitra Multiperdana Tbk (PMMP), perusahaan eksportir udang beku, juga akan merasakan dampak yang cukup besar. Kontribusi penjualan PMMP ke AS mencapai US$ 42,33 juta, atau 66,80% dari total penjualan sebesar US$ 63,37 juta. Kondisi ini akan semakin mempersulit PMMP untuk mencetak laba, mengingat perusahaan masih merugi US$15,26 juta hingga kuartal ketiga tahun lalu.

3. SMSM

PT Selamat Sempurna Tbk (SMSM), perusahaan otomotif dan mesin industri, juga tidak luput dari dampak kenaikan tarif. Penjualan ekspor SMSM ke AS mencapai Rp818,73 miliar, atau 15,85% dari total penjualan sebesar Rp5,16 triliun. Meskipun bukan penyumbang utama pendapatan, tarif ini berpotensi mengurangi ekspor atau meningkatkan beban, yang pada akhirnya dapat menekan laba.

4. TKIM dan INKP

PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP) dan PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk (TKIM), dua perusahaan kertas di bawah grup Sinarmas, juga patut diwaspadai. Kedua perusahaan ini memiliki penjualan ekspor lebih dari 50%, dengan AS sebagai salah satu tujuan utamanya. Porsi penjualan INKP ke AS mencapai 4,30%, sementara TKIM sebesar 3,32%. Meskipun tidak terlalu besar, kenaikan tarif dapat meningkatkan beban atau menggerus pangsa pasar kedua perusahaan di pasar global.

5. ICBP dan INDF

PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dan PT. Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), perusahaan consumer goods yang dikenal dengan produk mie instan Indomie dan bumbu dapur, juga akan merasakan dampaknya. Produk-produk Indofood telah merambah berbagai negara, termasuk AS. Penjualan ekspor ICBP dan INDF ke negara lain-lain (termasuk AS) masing-masing mencapai 4,29% dan 2,85%.

Scroll to Top