Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menunjukkan ambisi besar untuk mengendalikan Rafah di Jalur Gaza, sebuah rencana yang berpotensi memperburuk kondisi warga Palestina dan menjadi batu sandungan dalam negosiasi gencatan senjata. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dikabarkan memberikan tekanan kuat agar Netanyahu segera menyetujui gencatan senjata, namun upaya ini terhambat oleh keinginan Israel untuk terus memegang kendali atas wilayah Palestina.
Sejak dimulainya agresi, Israel telah memegang kendali atas sebagian besar perbatasan Rafah, termasuk akses keluar-masuk bantuan kemanusiaan. Kontrol ketat ini menyebabkan krisis pangan yang parah bagi warga Palestina.
Dalam perundingan gencatan senjata, Hamas bersikeras agar seluruh pasukan Israel ditarik mundur dari wilayah Palestina. Namun, Israel menginginkan penarikan pasukan secara bertahap, mengisyaratkan keinginan untuk tetap memiliki pengaruh di wilayah tersebut.
Motivasi utama Netanyahu menguasai Rafah adalah untuk mengontrol pergerakan orang keluar masuk Palestina. Laporan menyebutkan bahwa pemerintahannya berencana membangun kompleks tenda untuk memusatkan penduduk, mengendalikan akses, melarang kepergian, dan pada akhirnya mengusir penduduk Gaza, sejalan dengan usulan Trump.
Tujuan utama dari pengusiran ini adalah mengurangi populasi Gaza agar Israel dapat mengambil alih wilayah tersebut.
Serangkaian negosiasi gencatan senjata antara Israel dan Hamas mengalami kebuntuan. Meskipun sempat terjadi gencatan senjata sementara, serangan dari pasukan Zionis terus berlanjut di wilayah Palestina.
Agresi Israel ke Palestina, yang dimulai pada Oktober 2023, telah menyebabkan lebih dari 56.000 kematian dan jutaan orang terpaksa mengungsi.