Gaza Riviera: Mimpi Indah di Atas Puing-puing?

Gaza Riviera, sebuah istilah yang mencuat, mengusung fantasi Jalur Gaza yang hancur menjadi pesisir Mediterania mewah. Bayangkan pantai berpasir putih, hotel megah, pelabuhan kapal pesiar, dan kafe Eropa, semuanya di wilayah yang saat ini dilanda krisis kemanusiaan. Ironisnya, mimpi ini muncul di tengah blokade berkepanjangan dan konflik yang menghancurkan.

Asal Usul Nama dan Kontroversi

"Gaza Riviera" bukanlah proyek resmi pemerintah mana pun. Istilah ini mencuat secara satir, melambangkan gagasan mengubah pesisir Gaza sepanjang 40 km menjadi pusat wisata mewah seperti French Riviera. Popularitasnya melonjak seiring dengan "Deal of the Century" yang diusung Donald Trump pada 2020. Rencana tersebut memuat bagian ekonomi yang menjanjikan investasi besar untuk pembangunan Gaza, termasuk hotel, pelabuhan, pembangkit listrik, dan infrastruktur kelas dunia.

Janji Investasi dan Syarat yang Memberatkan

Trump menjanjikan investasi internasional lebih dari USD50 miliar untuk Tepi Barat dan Gaza, dengan harapan Gaza bisa menjadi "Singapura atau Dubai di Mediterania." Namun, janji ini bersyarat: Palestina harus menyerahkan tuntutan mendasar seperti hak pengungsi untuk kembali, kedaulatan penuh atas Yerusalem Timur, dan negara Palestina dengan kontrol militer dan perbatasan. Kritik menyebut ini sebagai upaya "membeli" Palestina, sambil melanggengkan dominasi Israel.

Realita Gaza yang Pahit

Gagasan "resor mewah" di Gaza memicu kritik keras. Realita menunjukkan 2 juta penduduk hidup dalam kondisi nyaris tidak manusiawi, pengangguran meroket, 80% bergantung pada bantuan, dan infrastruktur hancur akibat perang berulang kali. Listrik hanya menyala beberapa jam sehari, sanitasi kolaps, dan air bersih langka. Bagaimana mungkin "riviera" dibangun di atas reruntuhan seperti ini?

Propaganda visual sempat menyebarkan gambar pantai Gaza yang bersih, anak-anak bermain, dan restoran tepi laut, seolah membantah adanya krisis. Namun, ini hanya segmen kecil yang sesekali dibuka, di bawah pengawasan ketat.

"Gaza Riviera" lebih tepat disebut ilusi, simbol kegagalan memahami bahwa penderitaan Gaza bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi juga soal keadilan politik dan hak asasi. Istilah ini menjadi lelucon pahit, mimpi surgawi yang dijual di atas puing-puing, tangis anak-anak, dan blokade tanpa akhir.

Scroll to Top