Jajanan Tradisional: Harapan di Tengah Gempuran Makanan Ultra-Proses

Di era digital yang didominasi iklan makanan ultra-proses, secercah harapan muncul dari sudut pandang yang tak terduga: kecintaan masyarakat Indonesia, terutama generasi muda, terhadap jajanan tradisional. Meskipun hanya 8% responden yang masih menggemari makanan warisan budaya ini, ikatan emosional dan nilai kekeluargaan yang terkandung di dalamnya tidak bisa diabaikan.

Makanan tradisional menyimpan kekuatan besar. Jika disajikan dengan menarik, mudah diakses, dan dibanggakan, makanan ini berpotensi menjadi solusi untuk mendorong konsumsi makanan yang lebih sehat. Di era digital ini, konsumsi makanan tidak hanya dipengaruhi oleh rasa dan harga, tetapi juga oleh tampilan visual yang menarik di media sosial.

Anak muda sering terpapar iklan makanan tinggi gula, garam, dan lemak dari influencer dan figur publik. Iklan-iklan ini lebih sering menampilkan chicken nugget kekinian atau minuman boba, bukan klepon atau rujak. Hal ini menyebabkan makanan ultra-proses mendominasi pasar dan membentuk persepsi masyarakat.

Makanan tradisional dapat menjadi penyeimbang. Indonesia kaya akan makanan tradisional yang sehat dan terjangkau. Rujak buah yang dijual di pinggir jalan jauh lebih sehat daripada makanan cepat saji di pusat perbelanjaan.

Memilih makanan sehat adalah tanggung jawab pribadi, tetapi pilihan ini harus didukung oleh sistem pangan yang adil dan sehat, regulasi yang kuat, dan lingkungan yang mendukung. Jika makanan ultra-proses bisa tampil menggoda di TikTok, jajanan tradisional juga harus bisa semenarik itu.

Sudah saatnya klepon, serabi, rujak, soto, dan jajanan tradisional lainnya mendapatkan panggung yang layak. Hadirkan mereka dalam kampanye digital dengan kemasan menarik dan narasi yang kuat. Makanan tradisional bukan hanya nostalgia, tetapi juga wujud cinta terhadap tubuh dan budaya.

Makanan sehat tidak harus mahal. Kita hanya perlu membuatnya terlihat menarik dan mudah diakses, terutama oleh generasi muda.

Scroll to Top