Tony Blair dan Kontroversi "Gaza Riviera": Antara Pembangunan dan Isu Pembersihan Etnis

Mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, dikenal sebagai arsitek "New Labour" yang membawa kemajuan ekonomi dan memperkuat hubungan dengan Amerika Serikat. Namun, warisan kontroversial invasi Irak pada 2003 membayangi reputasinya di dunia internasional, khususnya di dunia Arab.

Pasca-jabatan politik, Blair beralih ke diplomasi dan filantropi global, menjadi utusan khusus Timur Tengah untuk "Quartet" (PBB, AS, Uni Eropa, Rusia). Fokusnya adalah pembangunan ekonomi di Palestina, terutama di Tepi Barat, dengan membuka akses perbatasan, mendorong investasi, dan membangun infrastruktur sipil. Meski begitu, banyak pihak menganggapnya terlalu pro-Israel dan kurang berhasil bagi rakyat Palestina.

Tony Blair Institute for Global Change (TBI): Misi Mulia atau Agenda Tersembunyi?

Setelah masa jabatannya sebagai utusan khusus berakhir, Blair mendirikan Tony Blair Institute for Global Change (TBI) pada 2016. Lembaga ini bergerak di bidang tata kelola pemerintahan dan pembangunan ekonomi di negara berkembang, termasuk Timur Tengah. Namun, TBI kerap menuai kritik karena keterlibatannya dalam proyek-proyek kontroversial dan hubungannya dengan pemerintah otoriter.

Salah satu kontroversi terbesar adalah keterlibatan TBI dalam rencana "Gaza Riviera", sebuah proyek ambisius untuk merekonstruksi Gaza menjadi kawasan wisata dan investasi. Proyek ini diusulkan oleh Boston Consulting Group (BCG) dan didukung oleh pemerintahan Donald Trump dan Benjamin Netanyahu.

Kontroversi "Gaza Riviera": Pembangunan atau Pembersihan Etnis?

Rencana "Gaza Riviera" meliputi pembangunan pelabuhan, resort, kawasan industri, dan infrastruktur modern di Gaza. Namun, yang menjadi masalah utama adalah opsi relokasi massal warga Gaza ke negara tetangga seperti Mesir dan Yordania.

TBI dikabarkan terlibat dalam diskusi awal dan pembentukan rencana tersebut. Meski membantah menyetujui proposal akhir, TBI mengakui telah memberikan masukan dan menjadi bagian dari diskusi profesional awal. Keterlibatan ini memicu kemarahan banyak pihak, terutama aktivis Palestina, akademisi Timur Tengah, dan kelompok HAM internasional.

Mereka menilai proyek "Gaza Riviera" sebagai bagian dari rencana sistematis untuk mengosongkan Gaza dari penduduk aslinya. Blair dianggap menyalahgunakan reputasinya sebagai tokoh pembangunan damai dengan ikut serta dalam proyek yang berpotensi menjadi pembersihan etnis terselubung.

Pembelaan dan Kritik

TBI membela diri dengan menyatakan hanya hadir dalam diskusi teknis dan tidak mengetahui rencana relokasi akan dimasukkan dalam proposal akhir. Namun, klaim ini ditanggapi dengan skeptisisme. Beberapa pihak mengungkap TBI menerima dana dari organisasi pro-Israel dan terlibat dalam proyek-proyek infrastruktur yang mendukung permukiman Yahudi di Tepi Barat.

Meski begitu, pendukung Blair dan TBI menyatakan lembaga tersebut telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan kelembagaan di banyak negara. Dalam konteks Palestina, TBI mendorong pembangunan pelabuhan, infrastruktur teknologi, dan modernisasi sistem layanan publik.

Evaluasi Moral dan Dampak

Keterlibatan Tony Blair dalam proyek "Gaza Riviera" mengangkat pertanyaan besar tentang peran mantan pemimpin dunia dalam konflik yang masih berlangsung. Apakah pemimpin seperti Blair, yang sebelumnya berperan dalam diplomasi damai, masih bisa dianggap netral ketika terlibat dalam proyek pembangunan yang memiliki konsekuensi politik besar?

Kritik terhadap Blair bukan hanya soal politik, tetapi juga soal etika dan moral. Dengan pengaruh dan reputasi yang ia miliki, kehadirannya dalam proyek semacam ini memberikan legitimasi diam-diam terhadap rencana yang bisa berdampak besar pada masa depan warga Gaza. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan tidak hanya datang dari tentara atau senjata, tetapi juga dari narasi, jaringan diplomatik, dan proyek ekonomi.

Scroll to Top